Program Trapsila Adhyaksa Berakhlak yang dicanangkan Jaksa Agung Republik Indonesia, Burhanuddin, kini ternodai. Di usianya yang genap ke 62 tahun, justru persoalan rumit kembali muncul. Dua oknum Jaksa di Sulawesi Tengah, ngamuk dan ketahuan memeras, merupakan Dua aib yang telah mencoreng korps Adhyaksa.
Kasus jaksa Arifudin yang diduga memeras terdakwa sebanyak Rp700 juta, belum juga habis dibicarakan dan menjadi misteri. Meskipun Penyidik Polda Sulteng telah melayangkan pemanggilan bagi oknum Jaksa Arifuddin sebanyak dua kali, tapi yang bersangkutan tidak bisa hadir.
Baca Juga : Misterius Bandar Emas Sungai Tabong
Kasus oknum jaksa Arifudin itu ditenggarai terkait barter tuntutan hukum, dan telah dilapor ke Polda Sulteng dengan bukti tanda laporan Nomor STTLP/55/III/2022/SPKT/Polda Sulteng.
Kecaman itu datang lagi silih berganti dari sejumlah lembaga PERS di Sulawesi Tengah terhadap korps Adhyaksa.
Baca Juga : Manipulasi BOS di Sekolah Terpencil
Dalam puncak acara Hari Bhakti Adhyaksa ke 62 yang digelar dihalaman gedung Kejati Sulteng, Jumat pekan lalu, oknum jaksa bernama Fihtrah yang menjabat sebagai Asisten Pidana Umum (ASPIDUM), tiba-tiba memarahi tiga jurnalis TV, dan lalu mengusirnya.
“Tidak becus, buat apa kalian disini, pulang saja !” ucapnya dengan nada tinggi.
Inilah persoalan yang membuat kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah, Jacob Hendrik Pattipeilohy, meradang. Dan terpaksa harus menggelar pertemuan singkat bersama sejumlah jurnalis di Palu, Selasa pagi 25 Juli 2022.
Baca Juga : Tender Gagal, Buat Siapa ?
Namun sayangnya, pertemuan yang digagas oleh Kejati Sulteng pagi itu, untuk megklarifikasi insiden pengusiran terhadap tiga jurnalis tersebut masih menemui jalan buntu. Hanya saja, oknum Jaksa Fihtrah, telah menyampaikan permohonan maafnya secara terbuka dihadapan ketiga jurnalis yang menjadi korban arogansinya.
“Maaf, saya lelah dan stres karena ada masalah dirumah !” ungkapnya.
Sementara Kejati Sulteng Jacob Hendrik Pattipeilohy, melalui pesan tertulisnya yang dibagikan kepada sejumlah jurnalis, juga menyampaikan permohonan maafnya sekaligus melakukan rekonsiliasi terhadap jurnalis di Palu.
Menurutnya tidak kata ada gengsi-gengsi dalam surat pernyataan itu, untuk menanggapi insiden pengusiran yang dilakukan bawahanya kepada ketiga jurnalis.
Baca Juga : Rugi Berlipat Flyover Pantoloan
“Saya selaku pimpinan tertinggi di Kejaksaan tidak segan-segan minta maaf pada rekan-rekan. Jad harus begitu, sebab kita punya jiwa besar sebab dari awal hubungan kemitraan bersama rekan jurnalis baik. Tidak ada kata gengsi minta maaf dan itu jelas” pintanya.
Langkah Jacob Hendrik Pattipeilohy dalam merespon insiden pengusiran yang terjadi pada lembaga yang dipimpinya sudah tepat, meski lambat.
Baca Juga : NGERI-NGERI SUAP…!
Persoalan kedua aib oknum jaksa tersebut, tak akan terjadi jika Kejati Sulteng sudah menerapkan prinsip Program Trapsila Adhyaksa Berakhlak kepada jajaranya.
Tapi kini, nasi sudah jadi bubur. Kecaman itu akan terus mengalir, jika institusi adhyaksa itu menjunjung tinggi dan menerapkan program kerja prioritas Kejaksaan RI, salah satunya meningkatkan kepercayaan publik melalui peningkatan kinerja dan strategi komunikasi hukum yang adaptif, inovatif dan kolaboratif.