Di balik lebatnya dan hamparan hijau hutan sawit, tersimpan kisah yang mencuat ke permukaan tentang dugaan korupsi yang membelit PT Agro Nusa Abadi (ANA).
Perusahaan yang bernaung di bawah grup besar Astra Agro Lestari ini kini menjadi sorotan penyidik Tindak Pidana Khusus (Tipikor) Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah.
Baca Juga : Regulasi Tambang Batu Gamping | Desa Lelang Terancam !
Penyelidikan ini mencuat setelah berbagai pihak dari pemerintah kabupaten dan kelompok masyarakat dipanggil di Bulan Juni lalu untuk dimintai keterangan terkait penyelidikan terhadap PT ANA, perusahaan yang diduga beroperasi tanpa izin Hak Guna Usaha (HGU) yang beroperasi selama bertahun-tahun.
Sembilan saksi, termasuk Kepala Desa Bunta, Kepala Desa Bungintimbe, dan Ketua Rumpun, mulai memberikan keterangan. Sejak itu, penyidik Kejati Sulawesi Tengah mengumpulkan data dan keterangan dari belasan pihak terkait, termasuk Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Dinas Perkebunan. Mereka dihadapkan dengan dugaan bahwa PT ANA telah beroperasi di atas lahan hutan sawit seluas lebih dari 19.000 hektar tanpa izin yang sah.
Senin 29 Juli 2024, Penyidik Kejati Sulteng kembali memanggil Manajer Area PT Agro Nusa Abadi (ANA), Oka Arimbawa, untuk menjalani pemeriksaan intensif terkait dugaan korupsi yang melibatkan anak perusahaan PT Rimbunan Alama Sentosa (RAS).
Baca Juga : Batu Gamping | Pertaruhan Hidup Desa Lelang Melawan Tambang !
Kasus ini menyentuh jantung industri kelapa sawit di Indonesia, khususnya di Kabupaten Morowali Utara, yang sejak 2009 dikelola di atas lahan hak guna usaha (HGU) PTPN XIV tanpa izin yang sah.
Awal Mula Sengketa
Kasus ini mencuat dari tumpang tindih HGU milik PTPN XIV dengan izin lokasi PT RAS di hutan sawit. Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN), sebagai badan usaha milik negara yang bergerak di bidang perkebunan, menemukan lahan mereka digunakan tanpa izin oleh PT RAS, anak perusahaan PT ANA.
Penguasaan lahan ilegal ini diduga kuat melibatkan manajemen PT ANA dan PT RAS, sehingga dilaporkan ke Kejati Sulawesi Tengah.
Baca Juga : Sesak Udara di Tambang Batu
“Tim penyidik telah memanggil sejumlah pihak untuk dimintai keterangan, termasuk pihak pemerintah kabupaten dan kelompok masyarakat. Kami mengumpulkan data dan bahan keterangan secara intensif,” ujar Laode Abd. Sofian, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulawesi Tengah, kepada Trilogi.
Laode Abd Sofian membeberkan bahwa saat ini tim penyidik yang ditunjuk untuk menangani kasus ini telah memulai tahap pengumpulan data dan bahan keterangan.
Proses ini melibatkan pemanggilan belasan pihak terkait, termasuk Pemerintah Kabupaten, Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau Kantor Pertanahan, serta kelompok masyarakat.
Langkah awal ini, kata Laode, merupakan bagian dari tahapan penyelidikan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi dan bukti yang diperlukan guna menyelesaikan kasus ini.
Para penyidik akan menggali keterangan dari berbagai pihak untuk mendapatkan gambaran menyeluruh mengenai situasi dan permasalahan yang ada.
“Kita perlu mendapatkan informasi dari semua pihak yang terkait agar proses penyelidikan berjalan dengan lancar,” ujar Laode.
Baca Juga : Hilang Cuan Pemeliharaan Jalan
Tim penyidik, tambah Laode, berharap agar semua pihak yang terlibat dapat memberikan dukungan penuh selama proses penyelidikan berlangsung. Dukungan ini dianggap krusial untuk mempercepat proses dan memastikan bahwa seluruh data yang diperlukan dapat diperoleh dengan tepat.
Saat ini, bebernya tahapan penyelidikan masih berlangsung, dan tim terus berupaya mengumpulkan data dan keterangan yang relevan. Proses ini diharapkan dapat menghasilkan temuan yang akurat dan komprehensif untuk langkah-langkah selanjutnya.
“Kami akan terus memberikan pembaruan mengenai perkembangan kasus ini kepada publik. Sementara itu, masyarakat diharapkan untuk mengikuti perkembangan kasus dengan cermat dan memberikan dukungan yang diperlukan agar proses penyelidikan dapat berjalan dengan baik” jelasnya.
Baca Juga : Jejak “Rasuah” di Perusda Morowali
Penyelidikan ini tak hanya berhenti pada level manajerial PT ANA, tetapi juga merambah ke berbagai tokoh lokal. Sejak 10 Juni 2024, sembilan saksi dari kalangan kepala desa dan ketua rumpun masyarakat telah diperiksa.
Penyidik Kejati Sulawesi Tengah terus menggali informasi untuk membongkar praktik-praktik yang melanggar hukum ini dikasus dugaan korupsi hutan sawit.
Izin Cacat Hukum & Manipulasi Data
Salah satu temuan mengejutkan dari penyelidikan ini adalah mengenai perpanjangan izin lokasi (Inlok) PT Agro Nusa Abadi yang dinyatakan cacat hukum.
Hal itu disampaikan oleh Haikal Toramai, Kepala UPT Balai Perbenihan Tanaman Perkebunan di Dinas Perkebunan dan Peternakan Sulawesi Tengah dalam sebuah berita, mengungkapkan bahwa izin tersebut dikeluarkan oleh Alm Haris Rengga, pejabat bupati Morowali Utara yang tidak memiliki kewenangan strategis untuk membuat keputusan semacam itu.
Baca Juga : Sinyal Merah Penghilirisasian Nikel Morowali
“Izin tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat karena dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang. Selain itu, lahan kebun sawit PT. ANA tidak memenuhi syarat untuk penerbitan HGU, sehingga harus diselesaikan terlebih dahulu dengan masyarakat setempat,” ujar Haikal ketika aitu.
Permasalahan ini diperparah oleh fakta bahwa lahan hutan sawit PT ANA, yang awalnya mencapai 19.000 hektar, diciutkan menjadi 7.200 hektar setelah pemekaran wilayah Kabupaten Morowali menjadi Morowali Utara. Meskipun demikian, konflik dengan warga tetap berlanjut karena adanya tumpang tindih kepemilikan lahan dan manipulasi data izin lokasi.
Ombudsman & Temuan Korupsi
Tahun 2018 silam, Ombudsman Sulawesi Tengah melakukan investigasi yang mengungkap berbagai penyimpangan. Lahan PT ANA diketahui tumpang tindih dengan lahan transmigrasi dan lahan masyarakat yang telah bersertifikat.
Investigasi ini juga menemukan perubahan izin lokasi yang diterbitkan oleh pejabat bupati Morowali Utara pada 20 Agustus 2014, mengurangi luas lahan dari 19.675 hektar menjadi 7.244,33 hektar.
Keanehan lainnya muncul saat pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB P3) yang hanya dilakukan untuk 6.654 hektar, padahal luas lahan hutan sawit sebenarnya mencapai 7.244,33 hektar. Temuan ini semakin menguatkan dugaan adanya praktik korupsi dan manipulasi data yang dilakukan oleh PT ANA.
Baca Juga : Merah di Proyek Lindu
Pemeriksaan Manajer Area PT ANA, Oka Arimbawa oleh tim penyidik Kejati Sulteng membuka tabir gelap industri kelapa sawit di Morowali Utara.
Dalam pemeriksaan ini, Oka dihadapkan pada fakta bahwa PT ANA telah mengelola perkebunan sawit seluas 46.238 hektar sejak 2009 tanpa izin HGU yang sah, dengan produksi Tandan Buah Segar (TBS) mencapai 13.694 ton pada tahun 2019.
Kasus ini menunjukkan betapa kompleks dan korupnya pengelolaan lahan sawit di Indonesia. Dugaan korupsi yang melibatkan PT ANA dan PT RAS tidak hanya merugikan negara tetapi juga mengancam keberlanjutan industri kelapa sawit yang menjadi tulang punggung ekonomi banyak daerah di Indonesia khususnya Sulawesi Tengah.
Baca Juga : Rame-rame Menjepit Pokja
Perlu upaya serius dari pemerintah dan penegak hukum untuk mengatasi masalah ini. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggar hukum akan menjadi kunci untuk membenahi tata kelola lahan hutan sawit di Sulawesi Tengah. Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prinsip utama dalam setiap langkah yang diambil.
Drama dugaan korupsi di lahan sawit ini tidak hanya menjadi ujian bagi PT ANA dan PT RAS, tetapi juga bagi sistem hukum dan pemerintahan di Sulawesi Tengah. Perlunya penegakan hukum dalam kasus ini, menyelamatkan masa depan industri sawit dari praktik korupsi.