Regulasi Tambang Batu Gamping | Desa Lelang Terancam !
Penolakan warga terhadap tambang batu gamping di Desa Lelang Matamaling, Kabupaten Banggai Kepulauan, telah mengundang perhatian berbagai pihak, termasuk Abdul Razak, SH, seorang praktisi hukum yang menyoroti regulasi tambang dan hak-hak warga. Dalam konteks ini, konflik antara kebutuhan pembangunan dan keberlanjutan hidup masyarakat lokal menjadi semakin kompleks.
Menurut Abdul Razak SH, penolakan warga ini seharusnya menjadi pertimbangan serius bagi pemerintah dalam melanjutkan proses perizinan Usaha Pertambangan (IUP).
Baca Juga : Batu Gamping | Pertaruhan Hidup Desa Lelang Melawan Tambang !
“Jika ada penolakan dari warga, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk melanjutkan penerbitan IUP OP (Operasi Produksi). Sederhananya, setiap Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang akan ditindaklanjuti ke IUP masih harus menyelesaikan beberapa prosedur, salah satunya menyelesaikan hak atas tanah yang akan diterbitkan IUP,” ujar Razak.
Desa Lelang Matamaling adalah rumah bagi sekitar 400 kepala keluarga yang sebagian besar bergantung pada sektor pertanian dan perikanan. Hampir 70% dari penduduk desa ini adalah nelayan tangkap, sementara 30% lainnya adalah petani.
Kabupaten Banggai Kepulauan, sering disebut Pulau Peling, merupakan wilayah kepulauan karst yang masyarakatnya sangat bergantung pada pesisir dan sektor laut.
Baca Juga : Sesak Udara di Tambang Batu
Nardi, seorang nelayan setempat, menjelaskan betapa pentingnya laut bagi kehidupannya. “Dengan sekali melaut, saya bisa mendapatkan hasil tangkap sebanyak tiga gabus berbagai jenis ikan,” katanya.
Selain itu, tradisi “balobe” yang dilakukan pada malam hari ketika air surut memungkinkan warga menangkap hewan laut seperti ikan, gurita, dan udang berkat ekosistem yang masih terjaga.
Namun, dengan adanya empat WIUP tambang batu gamping yang telah diterbitkan di Desa Lelang Matamaling, meliputi PT Gamping Bumi Asia, PT Gamping Sejahtera Mandiri, PT Defia Anugerah Sejahtera, dan PT Prima Tambang Semesta -kekhawatiran warga semakin meningkat.
Baca Juga : Temuan Lawas di Proyek Bencana
Setengah dari wilayah desa yang bergantung pada pertanian dan hasil laut kini dikapling oleh tambang batu gamping.
Warga khawatir excavator akan mengeruk gunung yang menjadi tempat berkebun sekaligus sumber air mereka, serta pembangunan pelabuhan yang akan mengangkut batu gamping melalui tongkang-tongkang, mencemari wilayah pesisir seperti yang terjadi di Morowali dan daerah lainnya.
Razak menekankan pentingnya pemerintah memperhatikan hak-hak warga yang merasa dirugikan oleh pemberian izin tambang tersebut.
“Pemerintah harus memperhatikan hak warga yang merasa dirugikan atas pemberian izin tersebut. Ini adalah perintah Undang-Undang,” tegasnya.
Selain itu, ada pertimbangan ekologis yang signifikan. Wilayah pesisir Desa Lelang Matamaling, yang menjadi sumber pangan bagi warga desa dan desa tetangga seperti Desa Tatarandang dan Desa Palabatu Dua, terancam oleh aktivitas tambang.
Baca Juga : Jejak “Rasuah” Lahan Huntap Pombewe
Ekosistem yang selama ini terjaga dengan baik, yang mendukung kehidupan laut dan tradisi lokal, berisiko rusak akibat pembangunan infrastruktur tambang.
Menurut data Jariangan Advokasi Tambang (JATAM) Sulteng) yang di peroleh dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Desa Lelang Matamaling memiliki empat WIUP tambang batu gamping dengan total luas sekitar 696,2 hektar. Luasnya area tambang ini memperkuat kekhawatiran warga tentang dampak lingkungan dan sosial yang akan mereka hadapi.
Dengan latar belakang tersebut, penolakan warga Desa Lelang Matamaling terhadap tambang batu gamping bukanlah tanpa alasan. Mereka memperjuangkan hak atas tanah dan sumber daya alam yang menjadi penopang hidup mereka.
Abd Razak menggarisbawahi bahwa penyelesaian konflik ini membutuhkan pendekatan yang bijaksana, dengan memperhatikan kepentingan semua pihak, termasuk masyarakat lokal yang paling terdampak.
Baca Juga : Rame-rame Menjepit Pokja
Dalam konteks yang lebih luas, kasus di Desa Lelang Matamaling mencerminkan tantangan yang dihadapi banyak komunitas lokal di Indonesia yang berada di garis depan antara kebutuhan pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan serta hak-hak masyarakat.
Pemerintah diharapkan dapat menyeimbangkan antara kebutuhan tersebut dengan memastikan bahwa proses perizinan tambang mengikuti prosedur yang adil dan transparan, serta menghormati hak-hak masyarakat setempat.
Abdul Razak, SH, dalam pandangannya, menekankan bahwa semua prosedur perizinan harus dijalankan dengan mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan, serta hak-hak masyarakat yang terkena dampak.
“Dengan demikian, diharapkan konflik seperti yang terjadi di Desa Lelang Matamaling dapat diatasi dengan cara yang adil dan berkelanjutan” tegasnya.