Batu Gamping
Di tengah deburan ombak dan semilir angin pesisir Desa Lelang Matamaling, sebuah ancaman besar tengah membayangi kehidupan 400 kepala keluarga yang mayoritasnya adalah nelayan dan petani.
Rencana penambangan batu gamping yang akan mencakup hampir setengah wilayah desa ini, telah memicu gelombang penolakan dari masyarakat lokal yang khawatir akan dampak destruktif terhadap lingkungan dan mata pencaharian mereka.
Baca Juga : Sesak Udara di Tambang Batu
Desa Lelang Matamaling, terletak di Kabupaten Banggai Kepulauan, merupakan bagian dari ekosistem karst yang sangat bergantung pada pesisir dan sektor laut.
Dengan 70% warganya bekerja sebagai nelayan dan 30% sebagai petani, kehidupan desa ini sangat erat terkait dengan hasil laut dan tanah pertanian.
Nardi, seorang nelayan setempat, mengisahkan bagaimana sekali melaut ia bisa membawa pulang tiga gabus ikan berbagai jenis, yang menjadi sumber protein utama bagi keluarganya.
Selain kegiatan melaut, tradisi “balobe” yang dilakukan pada malam hari ketika air surut, menjadi cara warga menangkap hewan laut yang hidup di pesisir atau terperangkap di karang.
Baca Juga : Hilang Cuan Pemeliharaan Jalan
Tradisi ini tidak hanya memberikan hasil tangkapan yang melimpah, tetapi juga menguatkan ikatan sosial di antara warga.
Bahkan, desa-desa tetangga seperti Desa Tatarandang dan Desa Palabatu Dua juga bergantung pada pesisir Lelang Matamaling sebagai sumber pangan.
Ancaman Penambangan Batu Gamping
Berdasarkan data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM Sulawesi Tengah) dari Dirjen Minerba, telah diterbitkan empat Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) batu gamping di Desa Lelang Matamaling, mencakup area total lebih dari 696 hektar.
Perusahaan-perusahaan seperti PT Gamping Bumi Asia, PT Gamping Sejahtera Mandiri, PT Defia Anugerah Sejahtera, dan PT Prima Tambang Semesta, memiliki rencana eksploitasi yang membentang hingga Desa Kambani.
Baca Juga : Temuan Lawas di Proyek Bencana
Aktivitas penambangan ini dikhawatirkan akan mengeruk lahan pertanian, menghancurkan ekosistem pesisir, dan mencemari wilayah perairan dengan pembangunan pelabuhan untuk mengangkut batu gamping.
Menurut pengakuan Nardi yang dikutip dari siaran pers JATAM Sulteng mengungkapkan kekhawatirannya, “Kalau nanti ada ekskavator yang mengeruk gunung tempat kami berkebun, sumber air kami bisa habis. Belum lagi pelabuhan tongkang yang bisa mencemari laut, kita bisa kehilangan semua ini,” ujarnya dengan nada cemas.
Solidaritas & Perlawanan Masyarakat
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam Sulteng), dalam siaran persnya mendukung penolakan warga pulau Peling itu terhadap rencana penambangan batu gamping tersebut.
JATAM menekankan bahwa aktivitas pertambangan tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga mengancam keberlanjutan hidup masyarakat yang telah terjalin harmonis dengan alam.
Baca Juga : Jejak “Rasuah” Lahan Huntap Pombewe
Dalam pernyataan resminya, Jatam menyatakan, “Penambangan ini akan membawa dampak yang sangat merugikan bagi warga yang hidup dari pertanian dan hasil laut. Kami berdiri bersama warga Desa Lelang Matamaling untuk menolak rencana ini”.
Ancaman penambangan batu gamping di bukanlah isu lokal semata, tetapi juga cerminan dari konflik kepentingan antara eksploitasi sumber daya alam dan keberlanjutan kehidupan masyarakat lokal.
Penolakan warga yang didukung oleh berbagai pihak menunjukkan bahwa ada kesadaran kolektif untuk mempertahankan keseimbangan ekologis dan ekonomi yang telah lama terjalin di wilayah tersebut.
Baca Juga : KPK & BPKP Diminta Turun | Merah di Proyek Lindu !
Perjuangan ini bukan hanya tentang melindungi lingkungan, tetapi juga mempertahankan hak-hak masyarakat untuk hidup dalam harmoni dengan alam.
Kisah dari Desa Lelang Matamaling ini mengingatkan kita semua akan pentingnya menjaga alam dan menghormati kehidupan masyarakat yang bergantung padanya.
Keputusan mengenai penambangan harus mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, bukan sekadar keuntungan ekonomi sesaat.