ISSU KKN MENERPA KUAT
Bupati Kabupaten Parigi Moutong, Syamsurizal Tombolotutu, semestinya menyadari bahwa demonstrasi rakyatnya kali ini bukanlah fenomena biasa.
Gelombang unjuk rasa di Kabupaten Parimout itu merupakan tamparan keras bagi bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Aksi mereka seolah-olah mengirim pesan: para elite penguasa tidak bisa seenaknya mengatur daerah dengan mengabaikan kepentingan publik.
Rakyat yang mengatasnamakan Aliansi Masyarakat Peduli Pemberhentian Bupati (AMPIBI) yang dikira apatis ternyata peduli terhadap urusan daerah. Mereka memprotes dan mendesak DPRD untuk membentuk angket.
Wajah mereka begitu serius. Poster-poster yang mereka bawa pun berisi kata-kata jenaka. Tapi keliru besar jika pemerintah menyepelekan aspirasi rakyatnya. Apalagi mereka mewakili semua kelompok usia, dari remaja hingga para orang tua, yang bisa saja mencapai ratusan jiwa yang masuk kelompok besar dalam piramida kependudukan. Salah pula bila pemerintah menghadapi demo warganya dengan cara represif karena justru makin memancing kemarahan khalayak.
Syamsurizal seharusnya paham bahwa pendekatan keamanan tidak akan efektif meredam kekesalan publik. Rakyat Parigi Moutong pun tidak bisa dipaksa mendekam dikampung tanpa ikut memikirkan urusan daerah. Akar persoalan sebenarnya justru berada pada penguasa. Pemerintah Parigi Moutong dinilai terkesan lalai mengurus rakyatnya.
Rabu 22 Juli 2020 puncak dari kekesalan rakyat Parimout atas pemerintahan saat ini dengan aksi turun ke jalan. Tampak asap hitam membumbung tinggi menyelimuti udara halaman kantor DPRD Kabupaten Parimout. Asap itu berasal dari beberapa buah ban bekas yang dibakar oleh pendemo yang diperkiarakan mencapai ratusan orang yang tergabung dalam AMPIBI.
Masa aksi sebelumnya melakukan orasinya dengan menggelar long march dan mendatangi rumah jabatan bupati dan sempat melakukan aksi geruduk pagar besi. Selain itu, masa aksi yang mendapat pengawalan ketat dari kepolisian tersebut, Juga sempat menyampaikan orasinya didepan kantor Kejaksaan Negri Parimout kemudian melanjutkan menuju gedung DPRD.
Ketika berada di Kantor DPRD Parimo, masa aksi menyampaikan orasinya yang meminta Bupati Samsurizal Tombolotutu turun dari jabatannya karena dianggap melakukan sejumlah pelanggaran sebagai kepala daerah.
“Ada beberapa penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Samsurizal, yang dalam peraturan perundang-undangan jelas melanggar larangan bagi kepala daerah, mengutamakan keuntungan pribadi beserta klan kroninya,” ujar Fadli Arifin Azis selaku juru bicara AMPIBI.
Usai melakukan orasinya, Ketua DPRD Parimo Sayutin Budianto bersama Wakil Ketua I, Faisan dan Sugeng Salilama selaku Ketua II langsung menemui masa aksi dan memperbolehkan 20 orang perwakilan AMPIBI Parimo untuk menyampaikan tuntutannya dalam pertemuan bersama sejumlah anggota DPRD.
Sedangkan masa aksi lainya diizinkan menyampaikan orasinya di halaman Kantor DPRD dengan syarat tidak melakukan perbuatan yang anarkis dan tetap kondusif. Namun, masa aksinya melakukan pembakaran ban di halaman Kantor DPRD Parimo sambil menyampaikan orasinya.
“Selama satu tahun terakhir ini, Bupati Samsurizal tidak pernah lagi terlihat di Kota Parigi menjalankan tugasnya. Bupati Samsurizal hanya berada di objek pantai mosing Kecamatan Siney, sementara masyarakat banyak membutuhkan perhatian, mulai dari bencana gempa sampai kondisi Covid-19 juga sangat berdampak pada kehidupan masyarakat. Tapi Bupati Samsurizal terkesan tidak peduli dengan masyarakat,” ungkap Fadli dalam forum singkat itu.
Dalam pertemuan itu, sekira dua puluh perwakilan AMPIBI meminta DPRD untuk membentuk Hak Angket, agar melakukan investigasi terhadap dugaan kasus yang dilakukan Bupati Samsurizal. Menanggapi tuntutan itu, Ketua DPRD Parimout, Sayutin Budianto bersama para anggota DPRD yang hadir dalam pertemuan tersebut, sepakat untuk menyepakati Hak Interplasi.
Menanggapi penyampaian Sayutin Budianto, Wawan Setiawan, ketua fraksi Bintang Indonesia, Feri Budianto, anggota fraksi Nasdem, lebih dulu menyanggupi pelaksanaan hal Interplasi itu. Berbeda dengan fraksi lainya, yang terlihat meminta waktu untuk berdiskusi bersama anggota yang lain. Sebanyak dua puluh orang perwakilan AMPIBI meminta batas waktu hak atas interplasi itu, diberikan batas waktu agar masyarakat dapat mengetahui hasilnya.
“Kami meminta batas waktunya kapan jangan sampaa nhal itu berlarut-larut dan akhirnya dibiarkan begitu saja” saut salah salah masa aksi didalam forum singkat itu.
Selain itu, perwakilan masa aksi juga meminta agar DPRD membuat pernyataan resmi mengenai keputusan membuat hak interplasi tersebut. Hal itu pun ditanggapi oleh anggota fraksi PKB Mohamad Fadil yang mengatakan, bahwa tuntutan masyarakat meminta pernyataan resmi berupa berita acara tersebut terkesan berlebihan. “ Saya rasa kalian terlalu berlebihan. Kan sudah dijelaskan diadakan hak interplasi” kata Fadli denga nada kesal.
Pertemuan Sempat Ricuh dan terjadi adu mulut. Mendengar perkataan Muhamad Fadli itu, sontak perwakilan AMPIBI langsung terpancing emosi dan sempat terjadi adu mulut. Beruntung, hal tersebut tidak berlangsung lama, dan situasi pertemuan kembali kondusif usai di cegah oleh Sayutin Budianto bersama para petugas keamanan yang mengawasi jalannya pertemuan. Dari akhir pertemuan itu, Sayutin Budianto menyampaikan keputusan Hak Interplasi dilakukan hingga batas 10 Agustus 2020 mendatang, sebelum dilaksanakannya Rapat Paripurna penentuan keputusan akhir.
Diakhir pertemuan itu, Sukri Tjakunu selaku Ketua AMPIBI Parimo menekankan kepada DPRD Parimo untuk menindaklanjuti apa yang menjadi tuntutan mereka. “Yang terpenting, laporan dan bukti kami harus sampai di Mahkamah Agung, jangan hanya sampai disini penindakannya agar kami bisa percaya kinerja dari para wakil rakyat tidak setengah-setengah,” tegasnya
Selain itu, para pendemo membeberkan beberapa alasan AMPIBI dalam tujuan aksi tersbut, Samsurizal Tombolotutu dari kajian yang sudah dilakukan pihaknya sangat nampak bahwa Samsurizal Tombolotutu telah menyalahgunakan kekuasaannya dan melanggar sumpah janji jabatan sebagimana yang diatur dalam UU nomor 23 Tahun 2014.
Menurut mereka, Samsurizal Tombolotutu sudah jelas melanggar. Misalnya pada kasus pembangunan wisata di Mosing, AMPIBI punya cukup bukti kuat untuk itu, kemudian terkait utang 4,9 Miliar yang belum diketahui lunas atau belum. Adanya putusan pengadilan menjadi bukti bahwa Samsurizal Tombolotutu telah menerima pemberian dari pengusaha.
“Jadi bagaimana mungkin kepala daerah menerima pemberian dari seorang pengusaha, tentu ada tujuan lain,” ujarnya.
Selain itu juga pengalokasian anggaran, mengenai Covid-19 sebesar 26 Miliar tidak dipergunakan secara efektif, sehingga menimbulkan kekecewaan dari masyarakat, sebab ketidak hadiran Bupati Parimo baik itu bencana alam non fisik maupun fisik di tengah masyarakat Kabupaten Parigi Moutong membuat kecewa masyarakat.
Mereka menegaskan, AMPIBI sudah siap sekira delapan puluh persen untuk menyambut aksi akbar, seluruh elemen yang terlibat akan meminta agar DPRD Parimo mengeluarkan rekomendasi untuk hak angketnya dan selanjutnya membentuk panitia angket untuk melakukan investigasi kasus Samsurizal Tombolotutu.
“Aksi akan terus kami lakukan sampai Samsurizal Tombolotutu lengser dari jabatannya sebagai Bupati Parimo,” tandasnya.
Dipilih langsung oleh rakyat, Bupati Syamrizal semestinya tidak menciptakan tatanan yang hanya menguntungkan segelintir elite politik. Sikap elite partai politik tak bisa menjadi pegangan karena belum tentu mencerminkan kepentingan publik. Mereka cenderung bersikap pragmatis. Partai politik terkesan hanya membutuhkan suara pemilih pada saat pemilihan. Demo rakyat Parimout sebetulnya tengah mendobrak sistem politik Parimout yang memanjakan elite penguasa dan mengabaikan kepentingan khalayak.