DALAM BAYANG-BAYANG BENCANA
Dua Kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah mengalami krisis daya tampung lingkungan. Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum masih gagap mengimbangi dalam menghadapi lajunya investasi dibidang pertambangan dan perkebunan.
Teror bencana, hal yang lumrah diterima oleh masyarakat. Namun, sejak beroperasinya sejumlah korporasi di dua bidang, yakni investasi pertambangan nikel dan perkebunan sawit membuat daya tampung lingkungan menjadi krisis. Konsekuensinya adalah sering diterima masyarakat, berupa ancaman banjir dan tanah longsor.
ATURAN KETAT PENGAWASAN LONGGAR
Konversi kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dengan tujuan mendatangkan devisa dan menyejahterakan masyarakat sejatinya menyimpan problem lingkungan yang serius. Hutan jadi porak-poranda tragedi lingkungan yang tak mudah dipulihkan tapi tak ada jaminan perkebunan sawit serta-merta terbangun.
Problem inilah yang terjadi di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Penyebab utamanya adalah ketamakan pengusaha dan aturan yang longgar. “Pertambangan dan Perkebunan” oleh sederet korporasi adalah contoh tragedi lingkungan akibat aturan yang goyor itu.
Bencana yang terjadi belum lama ini di Kabupaten Morowali, Kecamatan Bahodopi yang merusak infrastruktur jalan dan jembatan, juga permukiman warga yang nilai kerugian mencapai ratusan miliar rupiah. Kini bencana banjir besar juga kembali melanda beberapa Kecamatan di Kabupaten Morowali Utara. Bahkan terjangan banjir akibat curah hujan cukup tinggi Kamis lalu, menerjang sebuah jembatan di Desa Pontangoa membuat jalur Trans Sulawesi, Poros di Desa Korompeli dan Desa Wawopada lumpuh total. Kendaraan roda dua dan empat tidak dapat melintas jalan ini. Bahkan sejumlah warga harus dievakuasi menggunakan rakit.
“Kami terpaksa terjunkan personel guna mengevakuasi warga dan para pengendara yang terjebak banjir, kami menggunakan dua buah rakit,” kata Komandan Kompi Brimob Morowali Iptu Krisno Hergianto Songko.
Kondisi intensitas banjir masih terjadi dan ada ratusan warga di sejumlah desa di Kecamatan Lembo mulai diungsikan kelokasi yang ketinggian. Tidak hanya itu banjir juga telah menggenangi jembatan yang menghubungkan desa Beteleme dan desa Nuha, mengakibatkan poros jalan tak dapat dilewati. Bahkan sejumlah kendaraan roda empat maupun dua terjebak karena memaksa melintasi.
Menyikapi peristiwa yang beruntun itu, Fadli Ryzki Koordinator Advokasi & Kampanye Kelompok Muda Peduli Hutan (KOMIU) kalau dugaan awal pihaknya semua berkaitan terjadinya bencana banjir di daerah itu karena 70% lahan di Kabupaten Morowali Utara, bukan kawasan hutan dikuasai sawit dan sisanya banyak sawit masuk dalam kawasan hutan. KOMIU salah satu organisasi peduli hutan menyebutkan, penguasaan lahan oleh izin perkebunan sawit di Kabupaten Morowali Utara, mencapai 173.264 Ha atau 70% dari luasan areal penggunaan lain (APL) dengan jumlah tanaman sawit murni mencapai 41.618 Ha.
“Dari penguasaan lahan tersebut kami menilai saat ini Kabupaten Morowali Utara mengalami krisis daya tampung dan daya lingkungan” ungkap Aldy Rizki.
Dia menambahkan, pihaknya telah mengidenfitikasi dari 12 perusahaan yang telah berproduksi hanya 5 perusahaan yang memiliki Hak Guna Usaha (HGU) yaitu, PT. Kurnia Alam Makmur, PT. Cipta Agro Nusa Abadi, PT. Sinergi Perkebunan Nusantara (SPN)/PTPN XIV, PT. Timur Jaya Indomakmur dan PT. Nusamas Griya Lestari. Selain itu ada 7 perusahaan perkebunan sawit yang belum memiliki hak guna usaha (HGU) diantaranya : PT Agro Nusa Abadi, PT Sawit Jaya Abadi, PT Kirana Sinar Gemilang, PT Kurnia Luwuk Sejati, PT Rimbunan Alam Sentosa, PT Langgeng Nusantara Makmur dan PT Bhayr Multi Morowali, Serta PT. Cipta Agro Sakti baru memperoleh izin lokasi.
Terdapat 3 perusahaan perkebunan sawit yang memiliki pabrik di Kabupaten Morowali Utara diantaranya : PT Agro Nusa Abadi (ANA), PT Indo Jaya Makmur, dan PT Sinergi Perkebunan Nusantara (SPN)/PTPN XIV.
“Kami menghimbau kepada Pemerintah Kabupaten Morowali Utara untuk tidak lagi memberikan perluasan izin penggunaan lahan kepada koorporasi khususnya perkebunan sawit dan aktifitas yang mengurangi daya dukung lingkungan lainnya. hal tersebut dilakukan untuk menghindari bencana ekologis kedepannya” kata Aldy Rizki Koordinator Advokasi & Kampanye KOMIU.
Berdasarkan rilies yang diperoleh Koran Trilogi, dari melalui Manager Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulteng Jumat kemarin menyebutka, baru beberapa pekan lalu wilayah Kabupaten Morowali dikepung oleh banjir. Bencana banjir juga menerjang Kabupaten Morowali Utara yang mengakibatkan sejumlah desa di Kabupaten tersebut terendam banjir antara lain Desa Korowou, Kumpi, Beteleme, Ronta, Petumbea, Wawopada, Korompeli dan Pontangoa.
Berdasarkan data awal yang dihimpun dari tim WALHI di lapangan, banjir yang terjadi di Kabupaten Morowali Utara adalah akibat hujan deras yang menyebabkan beberapa sungai di Kabupaten ini meluap antara lain Sungai La, Sungai Pontangoa, Sungai Tambakako, Sungai Korosule dan Sungai Ronta.
Manager Kampanye WALHI Sulteng Stevandi menjelaskan bahwa, banjir yang terjadi di Kabupaten Morowali Utara, tidak hanya diakibatkan oleh hujan deras, melainkan masifnya perambahan hutan dan penerbitan izin perkebunan sawit serta pertambangan di Kabupaten tersebut.
Alhasil lajunya penerbitan izin tersebut telah berkontrbusi terhadap lajunya deforestasi hutan sehingga menjadi faktor paling mempengaruhi terhadap bencana banjir yang terjadi disana. Menurut Stevandi saat ini jumlah perusahaan perkebunan sawit di Kabupaten Morowali Utara berjumlah adalah 14 perusahaan dengan luas aktivitas 42,218,378 Ha dan terdapat 6 perusahaan pertambangan yang saat ini beraktifitas di Kabupaten tersebut. Berdasakan konsesi konsesi perkebunan sawit di Morowali Utara mencapai 70% dari luasan Areal Penggunaan Lain (APL).
Dikatakan masifnya eksploitasi Sumber Daya Alam berbasis lahan di Morowali Utara secara tidak langsung telah mengurangi daya dukung lingkungan dengan terjadinya deforestasi hutan. padahal semua tahu, hutan memiliki banyak manfaat bagi manusia. Selain untuk melepaskan oksigen, menangkap partikel bebas di udara, hutan juga memiliki fungsi hidrologis yang berperan sebagai penyimpan/ mengikat air kemudian mengatur peredarannya dalam bentuk mata air. Selain itu hutan memiliki manfaat klimatologis atau mengatur iklim.
“Dengan adanya hutan, maka kelembaban dan suhu udara bisa tetap stabil dan tetap terjaga serta mengurangi tingkat penguapan air dari dalam tanah. Sayangnya manfaat hutan yang begitu kaya ini, tidak pernah diperhatikan oleh pengambil kebijakan (Pemerintah Daerah).” katanya.
Manager Kampanye WALHI Sulteng ini, menilai Kebijakan yang serampangan dalam penerbitan izin dan tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan telah melahirkan banjir dimana-mana. Kita mau bilang, Pemerintah lalai dan bertanggung jawab atas banjir yang terjadi di Morowali Utara dan beberapa tempat di Sulawesi Tengah. Dalam kasus ini, kita bisa mengambil contoh misalnya di desa Ronta dan Petembuea. Kedua Desa ini berada di Kecamatan Lembo Raya dan saat ini juga merupakan desa terdampak dari meluapnya Sungai Ronta.
Dari data awal yang WALHI Sulteng dapatkan, di desa Petumbea, puluhan hektar sawah petani terendam banjir. Selain itu ternak warga juga ikut terseret oleh air. Di Desa Ronta, puluhan rumah terendam banjir dan mengharuskan warga untuk mengungsi ditempat-tempat aman. Tidak dapat dipungkiri, banjir yang menerjang desa Ronta dan Petumbea adalah akibat perambahan hutan secara masif dan makin diperparah dengan kehadiran PT. Cipta Agro Nusantara (Anak Perusahaan Astra Agro Lestari) diwilayah tersebut.
Stevandi menerangkan bahwa lokasi aktivitas PT. CAN yang berada persis berbatasan dengan sungai Ronta telah menyebabkan air menerjang desa Petumbea dan Ronta. Ditambah lagi posisi desa Ronta dan Petumbea yang berada dalam posisi agak rendah sehingga tingkat kerawanannya cukup tinggi. Dia menambahkan, selain melakukan merambahan hutan, WALHI Sulteng menemukan fakta bahwa lokasi tanaman sawit PT. CAN yang hanya berjarak rata-rata 50 Meter dari sungai Ronta di duga kuat menjadi penyebab banjir karena tidak adanya lagi hutan (Pohon) yang berfungsi untuk mengikat air.
Beberapa fakta, kata Stevandi, banjir yang terjadi di Sulawesi Tengah beberapa bulan terakhir, (di Kabupaten Sigi, Morowali, Morowali Utara) harusnya menjadi pelajaran bagi Pemerintah Daerah untuk membatasi penerbitan izin-izin berbasis lahan serta mencabut izin-izin bermasalah di Sulawesi Tengah. Selain itu juga WALHI Sulteng mendesak Pemerintah Daerah untuk bertindak tegas terhadap aktifitas ilegal di kawasan hutan yang berpotensi melahirkan bencana dikemudian hari.
“Sangat disayangkan untuk mengejar investasi didaerahnya Pemda tidak mempertimbangkan aspek lingkungan dan tatakelola” kata Stevandi.
Penulis : Elkana L, Wahyudi / Koran Trilogi
Editor : Wahyudi