TATA KELOLA ALA KADARNYA…
Beberapa desa di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah, baru-baru ini mendapat kiriman air bah bercampur lumpur berasal dari hulu pegunungan dekat area lokasi pertambangan nikel. Artinya, fungsi pengawasan pemerintah masih lemah, tindakan preventif tak jalan.
Terjangan banjir di Kecamatan Bahopodi, melebar dan terjadi disana-sini. Pengawasan terhadap aktifitas pertambangan disana dianggap lemah. Dinas Energi Sumber Daya Alam (ESDM) Provinsi Sulawesi Tengah dan Inspektur Pengawasan Pertambangan Kementrian ESDM untuk Sulteng, pun angkat tangan.
Ada benang merah pada peristiwa bencana banjir yang memerintahkan ribuan warga Kecamatan Bahodopi untuk mengungsi itu serta merusak sebagian fasilitas public berupa jalan dan jembatan dan fasilitas umum lainya, akibat perilaku buruk dampak keberadaan aktifitas pertambangan di daerah penghasil nikel tersebut.
Banjir bandang melanda Kecamatan Bahodopi, baru-baru ini diduga kuat lemahnya sistim pengawasan yang dilakukan Dinas ESDM Provinsi Sulawesi Tengah maupun Inspektur tambang Kementrian ESDM untuk Sulteng atas pengelolaan reklamasi bekas tambang oleh pihak perusahaan pertambangan.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas ESDM Provinsi Sulteng, Ir Yanmar Nainggolan, memilih irit komentar ketika dikonfirmasi Koran Trilogi terkait pengawasan pada aktifitas pertambangan nikel di Kabupaten Morowali. Dikatakanya, pengawasan kegiatan reklamasi tambang diwilayah itu, Dinas ESDM bersama Inspektur Tambang Kementerian ESDM yang ditempatkan di Sulteng telah bekerja secara maksimal sesuai aduan masyarakat terkait aktifitas pertambangan.
“Perihal pengaduan ada, termasuk yang mewakili masyarakat seperti Walhi, Jatam, LSM Komiu dan lain-lainnya” kata Yanmar, ketika dikonfirmasi Koran Trilogi pada Rabu (19/6/2019), sembari menambahkan, jika setiap aduan selalu ditindak lanjuti. Sebab tambah dia, pihaknya juga sama dengan masyarakat yang juga miris melihat apabila reklamasi kurang maksimal dilakukan.
Sementara itu, Inspektur Pengawasan Tambang Kementrian ESDM untuk Sulawesi Tengah, M Saleh, ketika dikonfirmasi Koran Trilogi ditempat terpisah juga memilih irit komentar dan mengakui adanya kelemahan dalam pengawasan yang dilakukan pihaknya. Hal itu kata M Saleh, pihaknya belum maksimal bekerja untuk pengawasan reklamasi bekas tambang perusahaan, meskipun telah berkoordinasi dengan Dinas ESDM Provinsi Sulawesi Tengah, karena baru berjalan sekitar dua tahun terakhir.
Selama dua tahun terakhir, tambah M Saleh, pihaknya telah menerima beberapa laporan masyarakat terkait dengan pencemaran lingkungan akibat adanya beberapa perusahaan melakukan aktifitas pertambangan nikel disana. Temuan itu, kata dia, telah ditindaklanjuti dan mengehentikan sebagian kegiatan pertambangan di titik tertentu.
“Saat mulai bertugas pengawasan rutin sudah berjalan walaupun belum sepenuhnya maksimal dan beberapa aduan dari masyarakat dan juga dari LSM juga telah ditindaklanjuti seperti pada perusahaan PT. Mulia Pacific Resources dengan terjadinya pencemaran di danau Tiu akibat air limpasan dari kegiatan penambangan pada blok 311 desa Tantowea. PT MPR harus menghentikan kegiatan d blok 311 desa Tantowea sebelum melakukan penanganan air limpasan dari area tambang tersebut yang langsung mengalir ke danau Tiu,” kata M Saleh, kepada Koran Trilogi.
Juru bicara Hubungan Masyarakat (HUMAS) PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Deni Thomas, ketika konfirmasi Koran Trilogi, juga memilih irit komentar dan menampik jika bencana banjir di Kecamatan Bahodopi, dikaitkan dengan kelalaian PT IMIP melakukan reklamasi bekas tambang dianggap kurang maksimal.
“Itu tidak benar kalau perusahaan kami dan posisi tambang saya sudah cek alur airnya” Singkat Deni Thomas, kepada Koran Trilogi, Rabu (19/6/2019).
Kordinator kampanye dan Advokasi Jaringan Tambang (JATAM) Provinsi Sulteng, Moh.Taufik dengan tegas menduga bencana banjir ini, karna lemahnya pengawasan pemerintah pusat dan pemerintah daerah terhadap aktivitas pertambangan yang ada di Kabupaten morowali. Untuk itu, JATAM mendesak pemerintah untuk menseriusi evaluasi kembali terhadap perusahan perusahaan tambang yang ada di Kabupaten Morowali.
Dampak banjir di Kabupaten morowali, yang telah merugikan ratusan miliar yang terjadi baru baru ini, tambah Moh Taufik, adalah bentuk kelalaian Pemerintah dengan tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan ketika menerbitkan izin izin tambang di lokasi itu.
“Bagi kami banjir ini kami duga kuat terjadi pengrusakan wilayah hulu oleh aktivitas pertambangan yang mengakibatkan bencana banjir. Dari analisis yang kami lakukan Via Argis dan beberapa citra satelit kemi menemukan aktivitas tambang tersebut berada dihulu atau punggungan. Sehingga kami mengusulkan ke pemda untuk kaji ulang daya dukung dan daya tampung lingkungan disana” kata Moh Taufik kepada Koran Trilogi.
Menurut dia, ada kemungkinan lingkungan sudah tidak mampu menampung sesuai izin tambang tersebut sehingga menyebabkan banjir. Namun itu perlu kajian lebih dalam lagi.
“Kami juga menduga bencana banjir ini, karna lemahnya sistim pengawasan pemerintah pusat dan pemerintah daerah terhadap aktivitas pertambangan yang ada di Kabupaten morowali. Kejadian banjir kali ini kami mendesak pemerintah untuk serius melakukan evaluasi kepada perusahaan perusahaan tambang yang ada di Kabupaten Morowali” kata Aktivis Jatam Sulteng itu.
Kelompok Muda Peduli Hutan (KOMIU) Sulteng melalui Koordinator Divisi Advokasi dan Kampanye, Fadly Rizki mendesak Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah khususnya Dinas terkait untuk segera melakukan kaji ulang daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup (DDTLH) di seluruh wilayah yang telah dibebani izin penggunaan lahan untuk pertambangan.
Menurut Fadly Rizki kepada Trilogi.co.id hal itu harus dilakukan untuk mengevaluasi tata kelola ruang yang ada di Kabupaten Morowali Utara dan Kabupaten Morowali, dimana pada hari sabtu tanggal 1 Juni 2019 beberapa Desa diterjang banjir di Kecamatan Bungku Utara.
Seperti dikabarkan banjir merendam delapan Desa yang membuat terputusnya jembatan dan turut mengancam 4000 Jiwa penduduk yang ada di kecamatan tersebut. Dan beberapa hari kemudian banjir kembali terjadi pada 8 juni tahun 2019, yang kemudian merusak jembatan dan merendam ratusan rumah warga serta mengisolir akses warga untuk beraktivitas, akibatnya harga bahan makanan melonjak naik.
“Dari analisis yang kami lakukan seluruh badan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terbagi dari bagian hulu, tengah dan hilir di Kabupaten Morowali seluruhnya masuk dalam konsesi pertambangan yang saat ini menjadi sasaran eksploitasi. Hal itu juga didukung sampai saat ini belum ada upaya reklamasi lahan yang telah dibuka oleh perusahaan tambang, bahkan beberapa temuan kami topsoilnya ikut hilang ditambang oleh perusahaan” ungkapnya.
Dia juga menghimbau kepada Pemerintah Daerah mesti cermat dalam penerbitan izin lingkungan, karena pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, dan Koordinasi dan Supervisi yang dilakukan oleh Dirjen ESDM dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), banyak perusahaan berhenti dan meninggalkan lubang tambang yang tidak direhabilitasi, jika dicek perusahaan itu juga memegang izin lingkungan dari pemda setempat.
Pada dasarnya izin lingkungan adalah instrument pengendalian bukan malah meloloskan hal yang tidak diperbolehkan. tegasnya. Kami mencatat di Sulawesi Tengah, saat ini terdapat 321 IUP mineral logam, yang terbagi 245 yang clear and clean (CNC) dan 76 yang tidak clear and clean (CNC). dari 245 yang cnc hanya 119 IUP yang masuk kategori baik, 97 IUP berstatus operasi produksi, selebihnya 22 IUP statusnya ekplorasi, dari 97 IUP tersebut terdapat 30 IUP yang aktif dan kemungkinan akan bertambah setelah adanya pembenahan perizinan di Dinas ESDM.
Sementara itu organisasi pemerhati lingkungan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Tengah yang dilansir disalah satu media nasional, juga angkat bicara terkait banjir bandang yang melanda Kabupaten Morowali pada Sabtu 8 Juni lalu. Melalui Manager Kampanye Eksekutif Daerah WALHI Sulteng, Stevandi menyebut, banjir yang telah merugikan ratusan miliar itu akibat aktivitas pertambangan.
Menurutnya, banjir yang terjadi di tiga kecamatan, Kabupaten Morowali ketika itu, disebabkan oleh menurunnya daya lingkungan. Eksploitasi sumber daya alam berbasis lahan, tambah Stevandi, Kabupaten Morowali, salah satu kabupaten yang dianggap massif.
Eksploitasi sumber Daya Alam (SDA) berbasis lahan itu, kata dia, diyakininya berkolerasi dengan pembabatan hutan dan deforestasi sehingga daya dukung lingkungan di wilayah tersebut akan turun. Sebelum diterbitkannya PP Nomor 1 Tahun 2014 tentang pelaksanaan pertambangan mineral batu bara, di daerah itu begitu masif izin-izin eksploitasi. Sehingga yang terjadi beberap waktu lalu, di Kabhupaten Morowali ialah buah dari kebijakan pemerintah daerah.
“Seperti yang kita tahu, bahwa di tahun 2012 tercatat ada 189 IUP yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Mereka tidak mau melihat aspek lingkungan dalam pengambilan keputusan dalam beberapa tahun lalu itu ” keluh Stevandi.
Dalam catatan WALHI Sulteng, dalam pemantauan citra satelit, terdapat 6 ribu hektare lahan di Kabupaten Morowali yang masuk dalan kategori lahan kritis. Meski masih data awal, namun kata Stevandi pihaknya akan melakukan investigasi lebih mendalam mengenai kondisi tersebut.
Angka ini cukup besar dan memprihatinkan. Sehingga, ada langkah-langkah serius dari pemerintah dalam menanggulangi persoalan tersebut. WALHI berharap pemda perlu perbaikan atau reboisasi kembali hutan dan lahan kritis yang ada di Morowali. Bahkan, tambah dia, mencabut izin-izin bermasalah yang sudah pasti berkontribusi terhadap kerusakan hutan
“Saya pikir ini yang menjadi catatan penting kami dari WALHI sebagai perhatian pemerintah,” pungkasnya.
Akibat dari bencana banjir yang menghantam beberapa desa di Kecamatan Bahodopi beberapa pekan yang lalu, menimbulkan kerugian yang ditaksir mencapai ratusan miliar rupiah. Salah satu kerugian material akibat kerusakan infrastruktur berupa jalan dan jembatan di ruas jalan nasional di Kabupaten Morowali .
Selain rusak berat, beberapa jembatan lainnya kini terancam rusak juga bila hujan masih berkepanjangan, karena opritnya tergerus air bah.
Hasil invetarisir pihak BPJN XIV Palu, terkait kerusakan infrastruktur jalan dan jembatan akibat banjir, saat ini total kerugian karena belum semua jembatan dan badan jalan diketahui kondisinya. Namun pihak BPJN XIV Palu memberikan gambaran bahwa untuk membangun kembali beberapa jembatan yang rusak berat itu, membutuhkan dana sedikitnya Rp350 miliar.
Ada lima jembatan itu yang rusak akibat banjir yang tersebar di dua Kabupaten yakni Morowali dan Morowali Utara, adalah Jembatan Dampala di Kecamatan Bahodopi butuh dana rekonstruksi sekitar Rp125 miliar, Jembatan Bahodopi Rp75 miliar, Jembatan Lalampu Rp75 miliar, dan Jembatan Bahoyuno Wosu Rp20 miliar. Satu lagi jembatan di Kecamatan Mamosalato, Kabupaten Morowali Utara, yakni Jembatan Manansang Besar yang sempat putus butuh biaya pembangunan kembali sekitar Rp40 miliar.
“Nilainya cukup besar karena terdapat lima jembatan permanen yang rusak berat dan sejumlah badan jalan tertutup longsor dan ambles,” kata Kepala Balai BPJN XIV Palu, Satrio Utomo, melalui Kepala Satuan Kerja PJN Wilayah III Balai Pelaksana Jalan Nasional, Beny Birmansyah beberapa waktu lalu.
Beny mengatakan khusus di wilayah Kabupaten Morowali, banyak jembatan yang butuh pembangunan kembali karena mengalami penurunan permukaan. Selain itu, kata dia, umumnya jembatan di Morowali, tidak memiliki tapal injak sehingga saat banjir, opritnya (jalan penghubung antara kepala jembatan dan badan jalan raya) mudah tergerus air saat banjir. Terkait dengan penanganan darurat pada jembatan-jembatan yang putus dan mengkibatkan arus lalu lintas Sulteng-Sultra kini lumpuh, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Pemda Morowali dan para pengusaha tambang untuk bekerja sama melakukan pemulihan.
Sebelumnya banjir bandang menerjang Kecamatan Bahodopi pada Sabtu 8 Juni 2019 mengakibatkan arus lalu lintas Trans Sulawesi yang menghubungkan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara tertutup total karena sebuah jembatan permanen di Sungai Dampala, Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, hanyut dibawa banjir.
berdasarkan informasi dari warga Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali menyebutkan, bahwa masyarakat di hampir seluruh desa di Kecamatan Bahodopi ketika itu terisolasi total baik ke arah Palu, Ibu Kota Sulawesi Tengah maupun ke arah Kendari, Sulawesi Tenggara. Sebagian pula masyarakat memilih untuk mengungsi menyelematkan diri. Dampak ekonomis akibat banjir ketika itu, sempat membuat kebutuhan pokok masyarakat disana melonjak naik.
Penulis : Elkana L, Wahyudi / Koran Trilogi
Editor : Wahyudi
Very wonderful information can be found on web blog.Blog monry