Kegaduhan yang muncul belakangan ini tak lepas dari campur tangan oknum pegawai Balai Prasarana Permukiman Wilayah (BPPW) Sulteng yang ditunjuk sebagai si empunya hajatan proyek bencana lahan huntap.
Minimnya transparansi pengelolaan dana bencana, berakibat polemik. Lantas siapa yang bermain dalam sengkarut lahan Huntap ?.
Baca Juga : Land Clearing Pusing Tujuh Keliling
Polemik diakhir pelaksana proyek penyediaan lahan Hunian Tetap (HUNTAP-II) di Kelurahan Tondo dan Talise seluas 112,1 Ha, tak perlu terjadi bila sejak awal BPPW Sulteng tunduk pada tata kelolah keuangan yang bersih.
Carut marut proyek penyediaan lahan huntap, di Kota Palu senilai Rp18,6 Miliar mengemuka setelah salah satu rekanan dari BPPW Sulteng mengumbar, jika dana sisah hasil pekerjaan, tertahan hampir setahun tanpa kejelasan.
“Begini pak, awalnya sekali kita berdua, kita 18,6 Miliar !. Saya 8,6 Miliar, si Agusnya 10 miliar, jadi begitu ceritanya. Tapi begitu mulai kerja, saya dirubah lagi, katanya dapat 5, pak Agus PT Velovei jadi 8,5, PT Ilham itu 5. Setelah itu, begitu bekerja, saya dirubah menjadi 3,5, PT Ilham yang digantikan PT Sapta Unggul itu 5, Agus PT Velovei 10,3.” kata I Made Puniarta kepada Trilogi melalui sambungan telefon Selasa 28 Desember 2021.
Dia membeberkan dari rangkaian pengaturan jatah bagi-bagi proyek penyediaan lahan untuk huntap Tondo, Talise senilai Rp18,6 miliar itu, dilakukan oleh bekas Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) PKP- I bernama Azmi Hayat, atas perintah Ferdinan Kana Lo, yang memangku jabatan Kepala BPPW Sulteng saat itu.
Baca Juga : Kontraktor Lelet Proyek Bencana
“Nah, saya itu sudah datang ke pak Azmi, itu katanya perintah pimpinan gitu !. Ada lagi itu paraf surat perintah pimpinan, itu ada digambarnya !. Nah, ini loh pak kalau tidak percaya, ini perintah pimpinan” ucap Made sembari menirukan perkataan Azmi ketika itu.
Indikasi adanya pengaturan bagi-bagi proyek itu mengemuka, kata Made, ketika adanya perintah untuk pembentukan kemitraan KSO untuk menggarap proyek Land Clearing dan Land Development, antara PT Velovei Bangun Pratama, PT Rizal Nugraha membangun dan PT Ilham Lestari Abadi, yang kemudian ditengah jalan digantikan oleh PT Sapta Unggul.
“Ini ada yang bermain !. Pasti menurut saya itu ada yang bermain pak !. Karena, seperti saya katakana KSO katanya bertiga, setelah itu saya minta kontraknya aja saya gak dikasih. Katanya PT Velovei yang pegang kontrak. Saya hampir 35 tahun jadi kontraktor. Kalau KSO itu dengan siapapun bertiga, kita membuat rekening bersama dan tandatangan bersama. Selama ini kan, saya tidak dimintai laporan apapun di PT Velovei ini. Dikasih kas bon aja, itu tidak ada kwitansi lagi loh pak !.” jelasnya.
Menurut Made, kejanggalan berikutnya yang terjadi dalam proses pembentukan kemitraan KSO untuk menggarap proyek penyediaan lahan huntap Tondo dan Talise seluas 112,1 Ha itu, terjadi perubahan harga satuan volume ditengah berjalanya proyek ketika itu, yang dilakukan oleh mantan PPK PKP-1 bernama Azmi Hayat.
“Dulu kan kita hitung-hitung semua, harga satuan juga dikasih sama pak Azmi. Kita kejar-kejar lah si pak Azmi baru kami dikasih harga satuan. Setelah volume kita masukan, itulah awalnya waktu dibuat surat pernyataan itu. Masah dirubah ditengah jalan ?. Nah, setelah itu kita kerja dan menghitung yang terakhir, barulah dibilang berubah. Tapi setelah saya hitung-hitung dengan harga perubahannya dia (Azmi-red), tetap sama juga, gitu loh !. ungkap Made.
Baca Juga : Begini Indikasi Penyimpangan pada Proyek Rp9,7 Miliar di Donggala, BPK Diminta Turun Audit Investigatif
Made menyampaikan atas dasar harga satuan dan volume pekerjaan itu, lalu kemudian dijadikan dasar untuk melakukan tagihan ke pihak BPPW Sulteng. Selama proses penagihan itu, kata dia, pihaknya selalu di ulur dengan alasan tidak pasti.
“Kita terus berarut-larut , sampai kita dijanjikan sama pak Azmi, kita sudah kasih data semua , akhirnya dia bilang nanti tunggu audit dari BPKP. Dia bilang bulan Oktober pasti dibayar gitu !, November terus Desember sekarang tidak muncul-muncul lagi. Sampai saya bersama direktur Pak Iskam menghadap kepala Balai yang baru ini. Pak budi bilang, loh tidak ada pembayaran lagi. Jadi saya kasih lihat lah datanya ke pak Budi” tegasnya.
Pada hajatan proyek bencana senilai Rp18,6 miliar untuk penyediaan lahan huntap Tondo dan Talise, dua nama santer disebut, yakni mantan PPK PKP-1, Azmi Hayat dan mantan Kabalai BPPW Sulteng, Ferdinan Kana Lo, yang kini menjabat sebagai Subdit II Ditjen Cipta Karya untuk wilayah Indonesia Timur Kementrian PUPR. Keduanya ditenggarai melakukan pengaturan dan kebijakan yang memicu polemik ini terjadi.
Kegaduhan pengelolaan anggaran bencana itu lalu kemudian, mendapat sorotan tajam dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Progresif untuk wilayah Sulawesi Tengah.
Direktur LBH Progresif, ABD Razak menilai bahwa selama proses penunjukan dan pelaksanaan proyek penyediaan lahan untuk lokasi huntap II di zona A dan B Kelurahan Tondo dan Talise itu terindikasi terjadinya korupsi secara berjamaah. Olehnya, dia meminta institusi yang terkait untuk turun melakukan penyelidikan.
“Mengenai pemberitaan tersebut, saya menilai ada indikasi terjadi tindak pidana korupsi secara berjamaah di lingkungan BPPW. Olehnya itu, penting kemudian APH masuk melakukan penyelidikan guna membuat terang persoalan tersebut” tegas Razak kepada Trilogi Selasa malam 28 Desember 2021.
Baca Juga : Pasang Badan Di Proyek Hibah
Pada tanggal 15 April 2019 silam, BPPW Sulteng menerbitkan surat perjanjian kontrak Nomor KU.03.01/SPPBJ/BPPW/PKP-ST/27, dan SPMK Nomor 27/SPMK/BPPW/PKP-ST/IV/2019, untuk pelaksanaan paket pekerjaan penyiapan lahan huntap seluas 112,1 Ha untuk zona A dan B di Kelurahan Tondo 65,30 Ha dan Talise 46,80 Ha dengan nilai kontrak sebesar Rp18,6 miliar.
Proyek itu kemudian didampingi dan diawasi oleh konsultan supervisi TMC-6 dari PT Kogas Driyap Konsultan.
Atas dasar kontrak itulah, kemudian diperintahkan untuk dibentuk kemitraan KSO antara PT Velovei Bangun Pratama, PT Rizal Nugraha Membangun dan PT Ilham Lestari Abadi yang kemudian digantikan oleh PT Sapta Unggul.