PROYEK LAWAS CERITA BARU
Sebagian proyek pengaman pantai yang di kelolah Balai Wilayah Sungai Sulawesi III (BWSS II) telah dirampungkan. Tak semua yang menguntungkan. Proyek yang menyakitkan bagi masyarakat Sulawesi Tengah, khususnya masyarakat Kabupaten Buol, yang berdomisili sepanjang pantai Leok tiga tahun lalu, masih terlihat gamblang didepan mata.
Proyek yang sudah menggerus uang Negara belasan miliar itu, sungguh tak sesuai harapan. Disepanjang pantai Leok I yang berdekatan dengan pelabuhan itu, proyek pengaman pantai dikerjakan oleh Kontraktor PT Handaru Adhiputra KSO PT Wahana Cipta Lestari, dengan biaya senilai Rp15 Miliar lebih.
Proyek itu menggunakan material bebatuan untuk proyek itu sangat jauh dibawah standart. Kini kondisi proyek yang dikerjakan pada Tahun 2015 silam tampak bolong-bolong. Proyek pengaman pantai Buol TA 2015 itu, sudah dipastikan sangat berpotensi merugikan keuangan Negara. Lantas siapa orang yang bertanggung jawab pada penanganan proyek berbiaya jumbo itu ?. Berikut penelusuran trilogi.co.id.
TRIO BABEH DI PUSARAN PROYEK TAMPIALA
Pada tanggal 7 April 2015 lalu, Dwi Cahyo Ramadhoni yang memangku jabatan sebagai PPK Sungai dan Pantai (SDP) dibawah naungan Satuan Kerja (Satker) PJSA Sulawesi III ketika itu, menerbitkan dokumen kontrak bernomor 05/SP/PPK.SDP/SATKER/PJSA.SUL III/2015, kepada PT Handaru Adhiputra KSO PT Wahana Cipta Lestari, untuk menggarap proyek Pembangunan Pengaman Pantai Leok I di Kabupaten Buol dengan nilai kontrak sebesar Rp15.322.580.000 dengan durasi selama 265 hari kelender.
Pada proses pelaksanaan saat itu, pihak Konsultan pengawas CV Trijaya Consultan yang ditunjuk untuk mengaawasi proyek ini dianggap lalai serta melakukan pembiaran kepada pihak kontraktor pelaksana dengan menggunakan material batu jauh dibawah standart yang ditentukan oleh Pemerintah. Material yang digunakan untuk proyek senilai Rp15.322.580.000 ini pun, diambil dari lokasi material Desa Kumaligon Kecamatan Biau. Kondisi material hanya berupa fosil karang yang lama mengendap diperut bumi ini dijadikan bahan baku untuk pengaman erosi pantai.
Hal ini bertentangan dengan Standart speksifikasi material yakni harus bersumber dari quary atau perusahaan tambang galian c dengan memiliki standart tempat riset ilmiah experimen pengukuran benda atau Laboratorium. Hal ini melalui surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum No. 07/SE/M/2010 tentang Pemberlakukan Pedoman Pelaksanaan Konstruksi Bangunan Pengaman Pantai harus melalui Perijinan penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam yaitu pengambilan bahan tambang dan penambangan galian C.
Jika merujuk pada standart tersebut, tentunya pihak pengguna anggaran yang menyusun Rencana Anggaran Biaya (RAB) pada proyek itu, jelas mengacu dengan harga satuan kubikasi material tertentu, yang dihasilkan melalui quary perusahaan pertambangan batu yang berbadan hukum dan telah memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) serta hasil LAB yang diterbitkan oleh lembaga terkait. Tentunya jika hal itu benar adanya, kemungkinan besar terjadi selisih harga satuan kubikasi material yang begitu mencolok.
Dimana jika harga satuan kubikasi material yang didatangkan dari quary yang memiliki hasil LAB sesuai rujukan standart pada proyek tersebut dari wilayah Kota Palu atau Kabupaten Donggala yang diketahui memiliki sejumlah pabrik pertambangan galian C, tentunya jauh berbeda dengan harga satuan material lokal yang berada di sungai Desa Kumaligon, Kabupaten Buol, yang notabene bukan material dari quary atau perusahaan pertambangan galian C serta diduga tidak memiliki hasil tes pengujian LAB.
Lantas dari mana pihak rekanan mendapatkan hasil LAB material dari sungai desa Kumaligon Kecamatan Biau itu?, padahal di desa tersebut tidak ada IUP produksi lokasi pertambangan galian C. Banyak pihak yang menuding pelaksanaan proyek tanggul pengaman pantai Buol tersebut diduga telah menyerempet rambu dengan menggunakan jenis material batu gajah yang bersumber dari material lokal yang tidak memiliki IUP Galian C serta tidak melalui tes pengujian LAB. Sudah barang tentu dengan kejadian itu akan membuat proyek yang menelan anggaran miliaran rupiah itu tidak akan bertahan lama dan akan menimbulkan kerugian keuangan Negara.
Kontribusi pihak kontraktor pelaksana pada proyek yang menelan anggaran Miliaran rupiah ini, tampak mencolok dengan cara mengkadali agar hasil pekerjaan terlihat samar – samar baik. Meskipun sumber material batu gajah, yang digunakan oleh rekanan dilokasi dengan menggunakan satu lampiran dokumen hasil tes pengujian Laboratorium. Akankah ini menjadi petunjuk awal, untuk memutus mata rantai permainan pintu belakang yang ditenggarai terindikasi rasuah itu ?.
Hasil penelusuran Trilogi.co.id, dari beberapa sumber menyebutkan, kontraktor yang berhasil menggarap proyek berbiaya jumbo dari PT Wahana Cipta Lestari, diketahui milik Suardin Amsal alias Bolong. Dialah pengusaha sekaligus kontraktor yang berdomisli di Kabupaten Tolitoli. Namanya muncul dalam sengkarut pengaturan quota untuk jatah proyek ketika itu, Suardin Amsal alias Bolong diduga kuat memiliki jaringan lobi kuat di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah. Pada Tahun Anggaran 2018 ini PT Wahana Cipta Lestari, kembali mengarap proyek Pembangunan Taggul Pengaman Pantai Buol dengan nilai kontrak Rp7.114.672.000, dari nilai pagu Rp9.500.000.000, dengan Nomor kontrak 02/SP/PPK-SDPI/SK-PJSA-WS.PL-WS.PP-WS.KK/2018.
Bukan hanya kali itu saja, sebelumnya Pada tanggal 14 Juli tahun 2017 lalu, satuan kerja SNVT Pelaksanaan jaringan sumber daya air Sulawesi III, membuka pengumuman pascakualifikasi sebagai tahap lelang saat itu. Setelah melalui proses perubahan berkali-kali. Empat bulan kemudian tepatnya tanggal 5 September 2017 lalu, panitia tender melakukan penetapan pemenang.
PT Menara Megah Pratama, dinyatakan keluar sebagai perusahaan pemenang pada tender yang diikuti sebanyak 205 peserta dengan kode lelang 31856064. Tidak main-main harga penawaranya pun terendah senilai Rp9.477.240.000, dari pagu anggaran yang dibandrol Rp11.848.043.000.
Proses pengawasan pekerjaan proyek yang disinyalir menyimpang itu juga patut dipertanyakan. Meskipun pada pertengahan pelaksanaan proyek itu sempat dihentikan setelah pihak kontraktor pelaksana menggunakan material batu lokal. “Ini proyek pak sempat dihentikan, menurut konsultanya waktu itu karena pihak kontraktor menggunakan material lokal. Katanya sih tidak boleh pake batu lokal,” kata salah satu warga yang bersedia menjadi sumber trilogi.co dan meminta identitasnya tidak di publiskasikan.
Memang selama proses pelakasanaan proyek pegaman pantai sepanjang 250 meter tersebut, pihak kontraktor mengunakan material batu lokal yang diambil dari sungai di desa setempat, meskipun sebelumnya pihak kontraktor mendatangkan separuh material dari kawasan pertambangan galian c dari wilayah Kota Palu atau Kabupaten Donggala. “Selain komposisi material batu di komplain, proyek itu juga pada galianya tidak terlalu dalam makanya badan permukaan tanggul pengaman pantai itu berbeda beda bahkan ada yang ambelas.” Beber sumber kepada trilogi.co belum lama ini.
Dalam proyek ini seharusnya jika pengawasan dilakukan secara baik, masalah itu akan terdeteksi lebih awal dan bisa dicegah dengan melakukan teguran kepada pihak rekanan atau memberhentikan pekerjaan itu. Tidak hanya membiarkan begitu saja tanpa melalui prosedur yang telah diamanahkan dan sudah menjadi standart pada proses pengadaan barang dan jasa. Lantas Siapa orang dibalik proyek pembangunan tanggul pengaman pantai itu ?.
Dia adalah, Suardin Amsal alias Bolong dari PT Wahana Cipta Lestari dan Dwi Cahyo Ramhadony, yang memangku jabatan sebagai PPK di satuan kerja SNVT Pelaksanaan Jaringan Sumber Air Sulawesi III. Mereka berdualah orang yang paling bertangungjawab pada proyek yang menelan biaya belasa miliar ini. Ketika dikonfirmasi melalui pesan singkat dinomor ponsel pribadinya, terkait kondisi proyek yang pernah ditanganinya ketika itu, Dwi Cahyo Rahmadhony yang memangku jabatan sebagai PPK pada proyek TA 2015, belum dihubungi sampai berita ini diterbitkan. Demikian halnya Suardin Amsal alias Bolong, ketika dihubungi melalui sambungan telefon dinomor ponselnya juga tidak terhubung, sampai berita ini diterbitkan.
Hasil penelusuran Trilogi.co.id belum lama ini, tampak kualitas material batu gajah pada proyek yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Balai Wilayah Sungai Sulawesi III (BWSS) tampak compang-camping. Diameter komposisi material bervariasi. Dimana hasil pantauan dilokasi ditemukan susuanan material batu gajah kebanyakan berdiameter 30-40 cm dengan volume diperkirakan mencapai 70 persen.
Artinya dengan kondisi tersebut, pemasangan material itu lebih banyak menggunakan batu berukuran dibawah dari 30kg. Padahal breakwater atau pemecah gelombang digunakan pada perlindungan perairan pelabuhan, serta bisa juga untuk perlindungan pantai terhadap erosi.
Tujuanya Breakwater atau dalam hal ini pemecah gelombang lepas pantai adalah bangunan yang dibuat sejajar pantai dan berada pada jarak tertentu dari garis pantai. Pemecah gelombang dibangun sebagai salah satu bentuk perlindungan pantai terhadap erosi dengan menghancurkan energi gelombang sebelum sampai ke pantai, sehingga terjadi endapan dibelakang bangunan. Lantas bagaimana dengan kondisi masterial yang digunakan dari material seadanya ?.
Hasil riset Trilogi.co.id, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Balai Wilayah Sungai Sulawesi III (BWSS) telah dua kali mengucurkan anggaran belasan miliar untuk membiayai proyek pembangunan pengaman pantai Leok I Kabupaten Buol. Sebelumnya di tahun 2015 pengaman pantai tersebut dibiayai sebesar Rp15.322.880.000, yang dimenangkan oleh PT Handaru Adhiputra JO PT Wahana Cipta Lestari (KSO).
Kondisi materialnya pun turut memprihatinkan. Pada Tahun 2017 lalu, anggaran pun kembali mengucur pada proyek yang sama dengan nilai kontrak sebesar Rp9.477.240.000, dari pagu sebesar Rp11.848.043.000, yang dimenangkan oleh PT Menara Megah Pratama. Pada Tahun Anggaran 2018 ini PT Wahana Cipta Lestari, kembali mengarap proyek Pembangunan Taggul Pengaman Pantai Buol dengan nilai kontrak Rp7.114.672.000, dari nilai pagu Rp9.500.000.000, dengan Nomor kontrak 02/SP/PPK-SDPI/SK-PJSA-WS.PL-WS.PP-WS.KK/2018.