Waktu masih menyisakan satu jam sebelum kegiatan dimulai, tetapi para peserta telah memenuhi ruangan zoom.
Semangat mereka di luar ekspektasi panitia. Bahkan, kerapkali peserta menanyakan kapan dimulainya acara. Mereka sangat ‘cerewet', memperlihatkan ketaksabaran untuk segera bertemu dengan sesama anak muda, dan mendapatkan pengetahuan baru.
Oleh: Rizky Ridho
Ketika mereka hadir di ruangan, beragam pakaian yang unik dan lucu memecah suasana. Ada yang memakai topeng pahlawan seperti, Batman dan Spiderman. Di hari lain, mereka mengenakan piyama, baju olahraga, dan pakaian adat.
Baca Juga : Generasi Literat Gandeng Mulia Raya Fundation Buka Kelas Literasi Damai
Mereka benar-benar menunjukkan kreativitas dan autentisitas. Memakai kostum dengan topik tertentu memang menjadi salah satu cara panitia untuk menghidupkan suasana dan memotivasi semua pihak yang ikut di kelas ini.
Saat trainer mulai menjelaskan materinya, mereka berubah 180 derajat. Dari individu yang ‘cerewet' menjadi pendengar yang aktif. Mereka mencatat, merespon, dan menanyakan hal-hal yang mengganjal di hati dan pikiran. Waktu lima jam mungkin masih terasa kurang jika melihat antusiasme mereka.
Begitulah gambaran kegiatan Kelas Literasi Damai yang dilaksanakan oleh Generasi Literat berkolaborasi dengan Mulia Raya Foundation dan United Nation Development Program (UNDP).
Selama empat hari, di setiap akhir pekan, sebanyak 124 generasi Z dari wilayah Sulawesi dan Maluku menjadi peserta dalam kegiatan ini. Kegiatan yang dilaksanakan pada jam makan siang tidak meruntuhkan semangat peserta.
Malah, mereka menunjukkan gairah dalam mengikuti kegiatan online ini. Selama kelas, mereka berusaha mendapatkan pemahaman yang utuh dari materi yang disampaikan. Apalagi, mereka tahu, materi ini berguna agar mereka bisa melakukan tugas mulia, yaitu sebagai aktor perdamaian, khususnya di media sosial.
Hari pertama, gen-Z Sulawesi dan Maluku dibekali materi literasi agama dan budaya serta literasi damai. Materi literasi agama disampaikan oleh Musdah Mulia, cendekiawan Muslimah yang merupakan founder dari Mulia Raya Foundation. Sedangkan, materi literasi damai disampaikan oleh aktivis perdamaian asal Aceh, Suraiya Kamaruzzaman.
Keseluruhan hari pertama menjadi momen yang melekat di hati Hasbiyah. Perempuan berusia 19 tahun ini berkata, materi literasi agama dan budaya sangat membuka wawasannya, khususnya dalam menghargai agama-agama lokal yang ada di Indonesia.
Keesokan harinya, peserta disuguhi materi literasi digital yang dibawakan Indriyatno Banyumurti dan literasi keadilan gender dengan Olin Monteiro. Bagi Rispa Sari, hari kedua meninggalkan jejak yang hilangnya akan lama.
“Materi keadilan gender yang membekas di hati saya, Kak,” ketika ditanya pendapatnya tentang materi di hari ketiga.
Memasuki hari ketiga, kali ini generasi Z marathon tiga materi sekaligus: berpikir kritis oleh Eko Prasetyo, team building & Gerakan Sosial oleh Lian Gogali, dan menulis human interest story bersama Sopian Thamrin.
Meski waktu tak memihak pada siapapun, justru hari ketiga menjadi pengalaman tak terlupakan bagi banyak peserta. Misalnya Nur Anisa, peserta asal Gowa. Dia terkesan dengan semua materi di hari ketiga.
Menurutnya, ketiga materi itu mengajarkannya untuk berani mengutarakan pendapat, belajar membangun tim dari kekuatan personal masing-masing, dan memantik emosi lewat tulisan kita.Di kelas, Nur memang membuka diri bahwa dirinya seorang introvert.
Bagi Ade Kezia sebaliknya, dia lebih suka dengan materi Lian Gogali tentang membangun tim.
“Kita belajar bagaimana tips membuat gerakan sosial, cara mengkomunikasikan agar gerakan itu bisa terbentuk dan bermanfaat bagi masyarakat. Dalam materi itu, saya merasa tertantang untuk mengomunikasikan ide dan gerakan saya.” tuturnya.
Tiga hari sudah gen-Z mengasah soft skills dan hard skills. Kini, waktunya mengaplikasikan materi-materi yang sudah didapatkan ke dalam sebuah konten narasi damai.
Sebagai modal membuat kontan, para peserta mendapatkan materi strategi membuat konten narasi damai di media sosial, yang dibawakan oleh Milastri Muzakkar. Selain itu, peserta juga dibekali materi teknis mendesign dan membuat video oleh Ufaira Nabila.
Inilah titik puncak dari semua materi di hari sebelumnya karena gen-Z akan melaksanakan misi menyebarkan pesan damai di media sosial maupun lingkungan sekitar. Dan seperti yang diduga, gen-Z sangat bersemangat mengikuti materi dan mencoba mempraktekkannya.
Menariknya, tak hanya mendengarkan materi dari trainer saja, setiap sesi kelas selalu mengajak peserta untuk berdiskusi kelompok di dalam “breakout room”.
Di sesi ini, ide-ide segar dan pengalaman para Gen-Z dalam isu perdamaian cukup tereksplor. Waktu diskusi kelompok selalu tak cukup, saking semangat dan senangnya mereka berdiskusi dengan teman sebanyanya.
Kelas Literasi Damai meninggalkan pengalaman yang tak terlupakan bagi gen-Z Sulawesi dan Maluku. Hal ini disampaikan oleh banyak peserta. Meski kegiatannya online, baik trainer, panitia dan peserta saling mengirimkan energi positif yang membuat kelas menjadi seru.
Tapi, mengutip kata Anisa, salah satu peserta, “kegiatan ini seru banget walaupun online, akan lebih seru lagi kalau offline namun terkendala covid, jadi sayang banget.”
Kelas Literasi Damai telah membuat jembatan yang mempertemukan gen-Z dari seluruh Sulawesi dan Maluku, untuk saling menguatkan keyakinan tentang peran penting mereka dalam mengampanyekan nilai-nilai perdamaian, di media sosial dan di lingkungannya masing-masing.