Keputusan perusahaan penambang mengeruk material tanah berkadar emas diatas lahan yang diklaim warga, membuka kran terjadinya pro dan kontra. Tersebab data yang simpang siur.
Pengerukan material rep oleh PT Citra Palu Minerals (CPM) bersama subkon di Areal Penggunaan Lain (APL) Poboya, dituding menyerobot tanah penduduk. Tiga kali dilapor, Polisi menolak !. Aparat tidak mengakui warga pemilik lahan.
Sejumlah unit Dum Truk sepuluh roda pengangkut material rep, tampak ngalor-ngidul mendaki dan meluncur di jalan laterit yang penuh debu.
Di sisi kiri kanan sepanjang jalan itu, terlihat beberapa titik aktifitas pengeboran milik entitas usaha Bumi Resources itu, tenda-tenda milik penambang yang berkelompok-kelompok, susunan karung warna putih tertata rapi berisi material rep dan sejumlah ternak milik warga seperti kambing dan sapi sesekali melintas sehingga sedikit mengurangi laju kendaraan kami.
Hal ini terekam saat penelusuran Trilogi yang bekerjasama dengan konsorsium media Sulteng beberapa hari yang lalu, disebagian lokasi IUPK milik PT CPM bernomor 422.K/30.DJB/2017, pada Selasa sore 23 Agustus 2022.
Saat kendaraan kami yang dikemudikan Amin Pontoh yang juga mantan aktivis lingkungan itu, tengah membawa kami kepuncak gunung yang dahulu dikenal sebagai areal tambang lubang avanza kala itu, untuk melihat kondisi lahan milik keluarga Almarhum Haruma, yang dikenal sebagai tokoh masyarakat Poboya yang ditenggarai telah diserobot oleh pihak perusahaan tambang.
“Diatas gunung itu sudah lokasinya Haruma, luasanya kurang lebih sekitar tiga puluh hektare. Ini yang kami laporkan di Polda sebanyak tiga kali, tapi selalu ditolak tanpa alasan yang jelas” keluh Amin Pontoh yang mengklaim mendampingi keluarga Haruma.
Setibanya dilokasi, diatas bukit yang sudah gundul di lokasi APL terdengar suara tiga unit alat berat jenis Exavator merk Komtasu PC 300, CAT 3300 dan Bulldozer type Crawler Tractor, sedang meraung-raung mengeruk lahan sedalam satu meter seperti sebuah kolam.
Disebelahnya, tampak sejumlah unit DT sepuluh roda menanti giliran untuk mengangkut material rep menuju lokasi pengolahan dan perendaman emas yang jaraknya kurang lebih 9 kilometer dari titik pengerukan.
Dilokasi pengerukan itu, terlihat ada beberapa orang anak ahli waris dari almarhum Haruma, diantaranya Raflin, Samni, Bakir, Dahlan dan Rafian hanya bisa pasrah melihat kondisi lahan bekas garapan ayahnya yang dulu ditanami pohon Nangka, Kapuk, Kemiri, mangga pohon jati dan Bambu itu keruk tanpa ada ganti rugi.
“Sudah ribuan kubik material diambil dari sini, tapi Pihak CPM tidak mau mengakomodir keluarga ini sebagai ahli waris pemilik lahan !. Padahal dibawah itu, berbatasan dengan lokasi ini, informasinya sudah dilakukan ganti rugi oleh pihak CPM. Apa bedanya dengan lokasi ini ?” tanya Amin Pontoh.
Kepada kami, Samni yang didampingi Amin Pontoh mengakui jika dahulu lokasi tersebut adalah lahan perkebunan milik ayahnya (Almarhum Haruma) yang kala itu belum ada aktifitas pertambangan.
Hal itu dibuktikan dengan adanya sebuah pohon nangka yang tersisa, kala itu ditanami oleh mendiang Haruma. Tidak jauh dari lokasi pengerukan, terdapat sebuah makam yang juga diklaim dari makam keluarga dan bekas kandang kambing yang masuk dalam areal garapan pihak perusahaan tambang.
“Beginilah yang terjadi, kita hanya bisa melihat dengan mata kepala kita sendiri material di lokasi kita diambil. Kita ini masih dengar perkataan para tokoh masyarakat dan adat Poboya untuk tidak melakukan tindakan-tindakan kasar” ujar Samni yang ditemui dilokasi.
Dahulu lokasi ini, kata Samni, menjadi lahan pencarian keluarga Haruma. Diareal bekas gunung seluas 30 hektare yang berdampingan dengan hutan konservasi itu, bergantung hidup sebagai penambang emas kecilan.
Perubahan transisi teknologi dari tromol menuju ke kolam perendaman emas, mengakibatkan banyak orang kehilangan pekerjaan dan tak sanggup bersaing dengan perusahaan yang memiliki modal besar untuk membeli teknologi dan jaminan keamanan berusaha.
“Kami tidak bisa lagi berbuat apa-apa, keluarga kami pernah di fasilitasi sama pak Amin Pontoh melaporkan dugaan penyerobotan lahan oleh PT CPM ke Polda, namun ditolak dengan alasan bukti penyerahan dewan adat atas hak lokasi itu tidak kuat. Anehnya lagi, justru keluarga kami yang dikriminalisasi ke Polres Palu atas tuduhan menghalangi perusahaan” tegas Samni sembari menambahkan “Kami tidak pernah menolak perusahaan, kami hanya meminta pihak perusahaan membayar ganti rugi atas lokasi kami yang sudah diambil materialnya,” tutupnya.
Menanggapi tudingan atas serobotan lahan warga oleh pihak PT CPM di lokasi APL, Manager External and Compliance Amran Amir, mengatakan bahwa sejauh ini pihak perusahaan telah melakukan transaksi jual beli untuk pembebasan kepada pemilik lahan yang setujui oleh Lurah dan Camat setempat.
Selain itu kata Amran Amier, PT CPM melakukan aktifitas pertambangan dikawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) berdasarkan atas izin pinjam pakai kawasan hutan yang iterbitkan oleh pihak Kementrian LHK.
“Bagi warga yang merasa lahannya diserobot CPM, silahkan melaporkan hal ini ke aparat penegak hukum dan pemerintah untuk diproses,” ungkap Amran Amier menjawab konfirmasi wartawan via aplikasi whatsap, yang dikutip dari Wartasulawesi.
Tambang emas Poboya dilihat dari dua sudut pandang, antara perusahaan tambang tanpa izin yang bekerja di konsesi milik PT Citra Palu Minerals (CPM).
Aktivitas itu ada perusahaan perendaman emas dan konsesi milik CPM yang izin sudah operasi produksi. Berdasarkan informasi data yang disampaikan kepada media ini bahwa sejak September tahun 2017 silam, sejumlah perusahaan berkamuflase itu dikabarkan telah dilaporkan ke Direktorat Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas pelanggaran masuk dalam Taman Hutan Rakyat (Tahura) Sulteng.
Lima bulan kemudian tepatnya pada bulan Februari 2018, terungkap tiga perusahaan ilegal mengolah emas dilahan konsesi milik CPM di antaranya PT Panca Logam Utama, PT Mahakam dan PT Indo Asia Kimia Sukses.
“Informasi itu juga dulu PT Dinamika Reka Geoteknik (DRG), perusahaan sub kontrak CPM yang bekerja perendaman. CPM punya MoU dengan DRG dan saat ini sudah diganti lagi sama perusahaan subkon yang baru, tapi tetap orang yang sama pengelolahnya” beber Amin Pontoh.
Amin Pontoh yang juga sebagai tokoh Tara Poboya mencatat, masalah yang terjadi dilokasi pertambangan Poboya, bukan barang baru dalam perdebatan kalangan aktivis maupun pengambil kebijakan di Sulteng.
Masalahnya, berdasarkan perkembangan kini, ditenggarai ada skenario besar sedang bekerja. Kalau di lihat, ada tiga pihak jadi pemain utama dalam areal pertambangan itu, yaitu masyarakat, penambang kelas menengah dan CPM sebagai pemilik kontrak karya.
“Pemain tambang sebetulnya sudah jelas, tapi seolah-olah ada pembiaran. Di sana, ada perusahaan besar memegang izin kontrak karya dengan izin usaha produksi khusus, penambang rakyat dan perusahaan skala menengah juga turut jadi pelaku.” Ungkapnya.
Saat ini PT CPM telah mengantongi IUPK berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 422.K/30.DJB/2017. Dalam Kepmen ESDM itu, memuat beberapa hal seperti tahap kegiatan operasi produksi CPM pada wilayah seluas 85.180 hektare.
Dalam laporan studi kelayakan, CPM menyatakan, mampu produksi 600.000 ton bijih emas per tahun. Saat ini Penambangan sudah dilakukan. CPM juga sudah membangun fasilitas pertambangan dan pengolahan hasil tambang.
Sejak masa komersialisasi produksi tambang pada akhir 2020 lalu, dengan izin produksi dari ESDM selama tiga puluh tahun sampai dengan tahun 2050.
Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulteng yang sudah dimuat dibeberapa media disebutkan bahwa berdasarkan overlay peta wilayah kontrak karya PT CPM seluas 85.180 hektar, terdapat 27.132 hektar dalam kawasan hutan, sebagian di Tahura Sulteng 4.907 hektar, hutan lindung 11.075 hektar, hutan produksi terbatas 5.504 hektar serta area peruntukan lain (APL) 5.645 hektar.