Mulutmu harimaumu, sebuah ungkapan yang bermakna hati-hati berbicara lebih pas dilekatkan kepada Musliman Mallapa yang nyerocos berbicara ditanah adat. Kini kena batunya, sanksi Givu menanti !.
Ditengah upaya masyarakat adat Poboya tertatih-tatih untuk mendapat pengakuan hak atas wilayahnya, justru Pimpinan External Relation PT Adijaya Karya Makmur (AKM) kontraktor CPM dengan suara lantang sampai urat lehernya terlihat dalam rekaman video yang beredar memperumit atas pengakuan raja yang mewakafkan tanah.
“Siapa raja yang mewakafkan tanah adat tersebut. Karena kita tidak tahu siapa raja dulu di sini. Siapa yang mewakafkan tanah ini, raja harusnya.. siapa raja, mana raja itu !.. Belum ada yang sampai kesitu,” cetusnya dalam video yang berdurasi 2 menit 47 detik itu.
Keruan video tersebut bikin geger masyarakat adat di Sulawesi Tengah khususny adat Poboya, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu.
Tampak jelas dalam video itu, kontraktor PT CPM yang kemudian diketahui bernama Musliman S Mallapi tampak sedang memimpin rapat.
Di menit akhir video tersebut, dia menyampaikan bahwa pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyatakan, di Poboya belum ada kajian yang namanya kajian adat.
Dia bahkan mempertanyakan siapa raja di Poboya yang mewakafkan tanah kepada adat, sehingga ada tanah adat.
Atas dasar itulah, dia menegaskan bahwa tidak ada namanya tanah adat. Hal itu kata dia, diperkuat dengan keputusan Gubernur Sulteng Sulteng Aziz Lamadjido Nomor: 592.2/33/1993 yang menegaskan bahwa di Sulawesi Tengah, semuanya adalah tanah swab raja yang diserahkan kepada pemerintah untuk dikelola.
“Jadi, tidak ada yang namanya tanah adat. Wilayah ke adatan, wilayah kerja adat itu ada. Jadi bukan tanah adat, tapi wilayah keadatan. Misalnya, di situ ada situs. Wilayah kerjanya adat Poboya itu, wilayah Poboya. Jadi kalau ada yang salah bivi (salah bicara) saja, kena Givu. Itu namanya sanksi, kalau di sini givu. Itulah wilayah keadatan, ini bukan saya yang bicara, undang-undang yang bicara,” tegasnya.
Tatkala video ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Sulteng itu beredar luas, menjadi biang kerok penyulut perdebatan panjang dikalangan lembaga adat di Sulawesi Tengah, seperti yang tergabung dalam group Badan Musyawarah Adat (BMA Sulteng).
“Orang ini harus dan sepantasnya didorong untuk mendapatkan sanksi adat Givu Salambivi, dan selanjutnya di proses diranah hukum NKRI – Tabe.. sangat setuju.. karena sangat melecehkan dan menistakan lembaga dan pengurus adat kita” tulis Taufan Muhamad.
Cuitan Taufan Muhamad di group BMA Sulteng itu, juga disauti oleh Hambali dengan menyerukan para dewan pakar, dewan wali adat dan seluruh pemangku adat di Sulawesi Tengah untuk mendorong yang bersangkutan dilakukan ke sidang adat akibat pernyataan yang menyebut Sulawesi Tengah tidak mengakui adanya magau atau raja.
“Pernyataan beliau, bahwa di Sulawesi Tengah tidak ada magau atau raja dan tanah adat yang tentunya ini juga merupakan pelecehan marwah leluhur. Dalam hal ini juga harus diproses” pintanya.
Hal yang sama juga turut disampaikan oleh Massita Masuara, yang meminta saat dilakukan Givunuada atau denda adat, diminta untuk disaksikan kepada masyarakat luas sebagai bentuk efek jera agar mengurangi oknum salah bicara atau Salambivi.
“Apalagi dengan angkuhnya mengatakan Sulawesi Tengah tidak ada madika atau araja, tidak menghargai turunanya yang ada di Sulawesi Tengah. Givunya itu berlapis lapis Salambivi” tegasnya.
Semua pihak yang terkait dalam lembaga adat di Sulawesi Tengah, sepakat untuk memproses secara adat Musliman Mallapa mengikuti sidang adat di Kota Palu. Hal ini dilakukan bertujuan untuk mendidik meski sedkit bertele-tele dizaman yang kebablasan ini, jika tidak pengadilan opini selalu menjadi panglima jika ada kasus seperti ini terulang.