Persaingan dua pasang calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah, semakin panas menjelang hari pencoblosan pada 9 Desember 2020 mendatang. Tidak hanya di darat, “Perang” antara pendukung pasangan Hidayat Lamakarate – Bhartolomeus Tandigala dan Rusdi Mastura – Ma'mun Amir sudah terjadi jauh-jauh hari di dunia maya.
Semua tim pemenangan melontarkan pelbagai jurus dari melakukan sosialisasi, menjual program sampai saling hujat. Pertarungan tim kampanye kedua pasangan calon di dunia maya berlangsung sengit dan lebih berterus terang.
Yang di dukung dipuja-puji, yang jadi lawan dicaci maki. Inilah peta akun social media berpengaruh yang menebar percakapan dan sentiment, baik positif maupun negatif pada kedua calon. Tim kampanye kedua pasangan calon paling serius menggarap media social. Menyiapkan tim khusus penangkal berita bohong.
Oleh : Wahyudi / TRILOGI
Pilgub Sulteng tahun 2020 ini sangat menarik untuk dicermati. Bahkan lebih menarik dari Pilgub Sulteg tahun 2015 silam. Karena, pasangan yang muncul terjadi hanya dua pasang. Yaitu, Hidayat Lamakarate – Bhartolomeus Tandigala dan Rusdi Mastura – Ma'mun Amir.
Nama Hidayat Lamakarate yang diusung oleh partai Gerindra, PDI-P, PBB, Gelora, PSI, dan PKPI. Sedangkan nama Rusdi Mastura diusung oleh partai Nasdem, PKS, PKB, Hanura, Garuda, Perindo, Golkar, PPP, PAN dan PRD. Sisi menariknya adalah kedua pasangan calon tersebut dibekingi oleh tokoh-tokoh kuat sekaligus putra didaerah ini.
Di belakang pasangan Hidayat Lamakarate ada Ketua DPD Gerindra sekaligus Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah, Longki Djanggola, sedangkan di belakang Rusdi Mastura ada Wakil Ketua Umum DPP Partai Nasdem, yang juga anggota DPR RI komisi III, Ahmad HI M Ali. Sehingga, pertarungan Pilgub pada kali ini bukan saja pertarungan antar masing-masing kandidat dengan kekuatannya masing-masing, melainkan juga pertarungan dua figur kuat di daerah ini.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana kekuatan elektoral masing-masing kandidat tersebut?
Hingga saat ini, baru pasangan Rusdi Mastura – Ma'mun Amir yang merilis lembaga survei bagaimana peta kekuatan dan dukungannya. Yang pasti, masing-masing figur yang sudah resmi mendaftar ke KPU Provinsi Sulteng itu memiliki kekuatan dan kelemahan yang akan menjadi penentu kemenangan dan kekalahannya.
Hidayat Lamakarate, misalnya, ia sudah memiliki modal dari segi popularitas dan kinerja sebagai birokrat. Mengingat pasangan ini adalah pasangan duel birokrat yang digadang-gadang dengan tingkat popularitas di atas rata-rata.
Sementara Rusdi Mastura, merupakan figur yang sudah relatif dikenal oleh masyarakat Sulawesi Tengah. Seperti diketahui, ia adalah mantan Walikota Palu dua periode yang juga calon Gubernur pada konvensi Partai Nasdem untuk Pilgub Sulteng tahun ini.
Hingga saat ini Negara dan daerah kita sedang dilanda pandemi virus corona (covid-19). Tidak hanya dalam sisi ekonomi yang kini telah merosot, pandemi covid-19 juga telah merasuk jauh ke dalam kehidupan masyarakat, bahkan dunia politik daerah telah mempengaruhinya; buktinya Pilkada tahun ini memiliki aturan yang berbeda dengan Pilkada serentak tahun-tahun sebelumnya.
Mungkin juga ini sebagai ruang yang pas bagi para kontestan politik untuk mempersiapkan diri secara baik untuk merancang strateginya. Publik pun sekarang semakin familiar dengan berbagai survei, slogan-slogan politik dan pertarungan gagasan dari para calon. Lebih menariknya lagi kalau kita bidik pencitraan para kandidat di media social : grup-grup dan fanpage facebook, telah ramai diisi dengan iklan-iklan tentang para calon.
Pertarungan gagasan di media social semakin menjadi-jadi. Setiap fanpage mempertahankan elektabilitas dari calon idaman masing-masing. Aura kompetisi pilgub ini juga sangat nampak lewat sentilan pemberitaan dan diskusi di medsos, manuver, dan lobi-lobi para calon.
Semakin gemparnya pertarungan gagasan atau opini di medsos berjalan beriringan dengan lahirnya kekuasaan kapitalisme. Banyak hoaks yang sengaja dibuat dengan tujuan melemahkan subjektivitas individu tertentu, sehingga mereka yang melek teknologi sewenang-wenang menguasai medsos, membuat gagasan atau opini yang menghancurkan elektabilitas calon tertentu.
Pertarungan opini di Pilgub Sulteng kian padat dan melampui keadaan. Di tengah baragam strategi persuasi yang dijalankan kedua pasangan kandidat, bermunculan propaganda membahayakan yang dilakukan beragam kelompok. Hampir setiap saat kita menjumpai propaganda hitam beredar di media sosial, lewat smartphone, bahkan tak jarang menyeruak lewat media arus utama seperti di media cetak maupun elektronika. Butuh kemampuan literasi politik agar adu strategi untuk penetrasi ke simpul pemilih tak sekadar melegitimasi diri atau mendelegitimasi pihak lain, tetapi menjadi ajang dialektika gagasan dan program ke depan.
Lantas bagaimana kedudukan mereka yang gagap teknologi?
Kehancuran dan kesemrawutan berita-berita yang dihadirkan telah melemahkan nalar kritis mereka. Alhasil mereka takut bertarung dalam kontestasi politik. Pengaruh dan tawaran program visi dan misi yang diberikan sangat menggiurkan, ketakutan masyarakat terhadap kontestasi politik semakin menjadi-jadi.
Mengapa demikian? Karena istilah “politik” yang banyak dipahami oleh masyarakat, lebih cenderung dikaitkan dengan suatu model pertarungan busuk, dalam ruang publik untuk mendapatkan kekuasaan. Di dalam jalan pertarungan politik, identitas moral dan etika semakin merosot–ke level yang paling rendah–bahkan sampai pada keasingan identitasnya.
Dalam kontestasi politik kecenderungan umumnya adalah menghalalkan segala cara, untuk mencapai kepentingan politik seseorang. Pragmatisme politik seperti ini agaknya sudah masuk begitu jauh, tidak lagi hanya berada pada tataran penguasa kepentingan kapitalisme politik, tetapi kini telah berkolaborasi dengan rakyat. Praktik money politics (politik transaksional) dalam pemilihan umum adalah salah satu contohnya.
Lantas apa yang mesti dibuat?
Bahasa adalah sebuah tanda yang harus bisa dilihat sebagai alat komunikasi, untuk mengidentifikasi opini-opini yang diterima. Yang paling utama adalah bahasa sebagai tanda harus mampu digunakan untuk berkomunikasi satu arah (komunikasi verbal) antara kontestan politik dan masyarakat luas.
Ini adalah salah satu strategi yang dibutuhkan untuk menghindari publik dari opini-opini yang termanipulasi, karena kadang-kadang opini-opini yang dibuat menggunakan sebuah “logika pembalikan”. Artinya, yang benar disalahkan, sebaliknya yang salah dibenarkan, sehingga muncul stereotip dari masyarakat tentang calon tertentu. ***