Menindaklanjuti untuk pemberhentian dua perusahaan ilegal yang beroperasi di wilayah kabupaten Morowali Utara, puluhan pemuda yang tergabung dalam Front Penyelamat Sumber Daya Alam Sulteng (FPSDAS) menggelar aksi unjuk rasa pada Kamis 6 Agustus 2020, didepan gedung Mapolda Sulteng.
Dalam aksi siang itu yang dipimpin oleh Taufik selaku koordinator masa aksi dalam orasinya bahwa PT ANA yang beroperasi sejak tahun 2006 di Kecamatan Petasia Timur diduga tidak memiliki HGU dan menimbulkan ketimpangan sosial dimasyarakat. Selain PT ANA, ada juga PT GNI yang beroperasi di wilayah tersebut diduga tidak memiliki izin galian C.
Hal itu kata dia, dibuktikan dengan terjadinya penyerobotan lahan yang bersertifikat dan berakibat tindakan intimidasi oleh negara terhadap rakyat yang mempertahankan tanahnya.
“Padahal perusahaan tersebut sama sekali tidak memiliki hak guna usaha (HGU) kemudian dalam temuan ombudsman Sulteng perusahaan ini maladministrasi,” kata Taufik, dalam rilis yang diterima Koran Trilogi.
Sementara itu kata dia, PT GNI berdasarkan hasil investigasi jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah, ditemukan proyek pembangunan Smelter oleh PT Gunbuzter Nickel Industri diwilayah kawasan Industri PT Stardust Estate Investment, diduga tidak memiliki izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Selain masalah legalitas perusahaan, kuat dugaan telah terjadi kerugian daerah dalam bentuk retribusi,” ungkap Taufik.
Lebih lanjut diterangkannya bahwa pada awal tahun 2020 lalu, DPRD Kabupaten Morowali Utara bersama Dinas Pendapatan Daerah Kab. Morowali Utara dan menemukan penggunaan material timbunan untuk menimbun lokasi smelter sebanyak 7.000.000 M3 (Tujuh juta kubik).
Ia menyatakan bila hal ini ditagihkan retribusi untuk daerah, maka dapat menambah Pendapatan Asli Daerah(PAD) sebesar Rp.49.000.000.000 (Empat pulu sembilan Milyar Rupiah).
Padahal kata Taufik Jika merujuk pada SK Bupati No. 188.45/KEP.B-MU/0075/V/2016 tentang penetapan nilai pasar jenis mineral bukan logam dan batuan di Kab. Morowali Utara telah ditetapkan nilai Retribusi timbunan ke daerah sebesar Rp.7000/M3 (tujuh ribu per kubik).
Hal inilah yang menurutnya jika dilihat secara kenyataan, pengelolaan sumber daya alam di Sulawesi Tengah begitu memprihatinkan dan terkesan amburadul.
“Lihat saja Kabupaten Morowali Utara salah satu daerah yang kaya akan sumber daya alam kemudian menjadi basis eksploitasi oleh kaum pemodal yang berlindung dibalik kekuasaan rezim yang zalim,” tegas Taufik.
Demikian puluhan masa yang melakukan aksi didepan Polda Sulteng, Kantor Gubernur, dan DPRD Sulawesi Tengah ini membawa beberapa tuntutan lain selain menuntut pemberhentian tambang ilegal di Morowali utara.
Tuntutan itu antara lain, menolak undang-undang sapu jagat (Omnibus Law), Audit Keuangan Negara di sektor perkebunan sawit dan pertambangan di Sulteng, menolak pembuangan limbah tailing di laut morowali, tarik aparat TNI/Polri dari lokasi perkebunan sawit dan lokasi pertambangan, menghentikan perampasan lahan petani, realisasikan tuntutan buruh PT. IMIP. sahkan RUU PKS, serta menuntut pencopotan Kapolres Morowali Utara.