PALU – Syahril salah satu dari sejumlah masyarakat Kota Palu yang mengakui sudah kenyang dengan cerita soal dampak buruk tambang emas bermerkuri di Kelurahan Poboya terhadap Kota tempat tinggalnya di Birobuli Utara, Kota Palu, Sulawesi Tengah.
“Sebagian air yang dikonsumsi masyarakat di Palu berasal dari mata air di pegunungan yang tidak jauh dari tambang emas,” Aku Syahril saat berbincang dengan trilogi.co, belum lama ini.
Kecemasan Syahril tak berlebihan jika melihat jarak antara pusat Kota Palu dan area tambang emas di Kelurahan Poboya yang hanya sejauh 5,1 kilometer. Merkuri, atau air raksa, bukan perkara baru bagi masyarakat di Palu. Isu soal pencemaran merkuri sudah ramai dibicarakan oleh warga Palu. Mereka khawatir apakah pencemaran di Poboya akan berdampak langsung ke Palu.
Poboya, tambang emas di Kecamatan Mantikulore yang masih bagian dari Palu, selama ini disorot karena penggunaan merkuri dalam menghasilkan emas siap jual. Untuk melihat utuh wajah Palu, ibu kota Sulawesi Tengah, anda perlu datang ke sepanjang pesisir pantai di bagian utara kota. Di sana, wajah paling menyenangkan dari warga Palu akan anda jumpai. Sebab, lokasi yang menjadi pusat kegiatan masyarakat Palu tersebut merupakan tempat untuk menikmati hidup.
Pesisir juga menunjukkan wajah lain Kota Palu. Coba tengok ke arah perbukitan yang mengelilingi kota di sebelah timur. Pemandangan janggal muncul dengan jelas, bukit hijau yang ternoda. Dari kejauhan terlihat, pohon-pohon hijau berganti kerukan pasir menganga.
“Tempat itu namanya Poboya, tambang emas yang terletak di bukit,” Kata Udin, warga setempat. Poboya bukan sekadar tambang biasa. Warga Palu paham betul mereka hidup bersandingan dengan area pertambangan yang penuh kontroversi. Sengkarut tambang ini bagian dari masalah nasional tentang tambang emas ilegal di Indonesia.
Di pusat tromol Poboya, deru mesin terdengar. Mesin tromol, yang juga disebut gelundung karena terbuat dari drum besi berbentuk bulat, berfungsi untuk menghancurkan dan menangkap butiran emas. Pada mesin tromol itulah, zat kimia merkuri sering digunakan. Merkuri berfungsi untuk mengikat emas. Limbahnya kemudian dibuang melalui saluran air menuju bak penampungan besar yang terletak di sekitar sentra produksi.
Konon, ratusan tromol yang ada di Poboya seluruhnya memiliki bak penampungan limbah. Sehingga jamak ditemui kolam limbah merkuri semacam itu di desa tersebut. Namun, pemandangan itu begitu mencengangkan dan mengkhawatirkan bagi warga Palu yang selama ini hanya mendengar desas-desus soal pencemaran merkuri, kemudian melihat langsung betapa merkuri dibuang sevulgar itu di Poboya.
Kolam merkuri otomatis meningkatkan potensi pencemaran tanah. Selanjutnya, merkuri yang mencemari tanah akan ikut meracuni aliran air dalam tanah, sehingga air akan jadi berbahaya jika diminum warga. Sama bahayanya jika air tersebut digunakan untuk mencuci sayur-mayur dan buah-buahan. Makanan bisa ikut tercemar merkuri dan mengontaminasi mereka yang mengonsumsinya.
Meski begitu, mereka yang terpapar merkuri memang tak akan langsung merasakan dampaknya. Pengendapan merkuri dalam tubuh baru akan terlihat dalam jangka panjang, sekitar 5-10 tahun kemudian.
Dinas Kesehatan Kota Palu pernah meneliti soal air di wilayah mereka. Hasil penelitian itu tertuang dalam dua dokumen tebal yang disodorkan sang Kepala Dinas, Dr. Royke Abraham, ketika masih menjabat. Dokumen pertama berjudul Kajian Faktor Risiko Pencemaran Merkuri pada Penambang Emas Rakyat di Kota Palu. Penelitiannya dilakukan tahun 2014 untuk mengetahui dampak nyata merkuri terhadap air bersih. Sampel diambil dari 10 titik yang tersebar di Kota Palu.
Dari 10 sampel itu, kata dia, hampir semua sumber air baku mengandung kandungan merkuri. Air baku ialah sumber air minum yang berasal dari sumber air permukaan, cekungan air tanah, atau air hujan. “Berdasarkan penelitian tahun 2014 itu, ada 7 sumur terkontaminasi merkuri,” ujar Royke.
Jumlah merkuri yang melebihi ambang batas bervariasi antara 0,005 sampai 0,008 miligram per liter. Sementara standar normal ialah 0,001 miligram per liter. Berdasarkan penelitian tersebut, Dinkes Palu langsung mengimbau warga untuk mengolah air lebih dulu demi keamanan mereka. “Air baku mengandung logam yang nondegradable (tidak dapat diuraikan), sehingga harus dimasak,” ujar Royke.
Dua tahun kemudian, 2016, Dinas Kesehatan Palu kembali merilis penelitian tentang kondisi air di kota itu, namun dengan variabel berbeda. Objeknya bukan hanya air baku, tapi air yang telah diolah. Hasil penelitian itu membuat Dinkes Palu sedikit lega. Menurut Royke, “Dari 30 sampel yang dikumpulkan, kandungan merkurinya sangat rendah yaitu 0,0005 dari 0,001.”
Meski demikian, fenomena merkuri di Poboya telah menarik lembaga advokasi, peneliti, dan akademisi untuk meneliti dampak pencemaran merkuri di permukiman terdekat.
Dari data yang dihimpun, tanah di Poboya terpapar merkuri dalam jumlah signifikan. Merkuri pada lahan terbuka dan semak belukar mencapai 1.26-55,23 ppm. Sementara pencemaran merkuri pada area tanaman pangan, sawah, kebun kelapa, dan ladang, mencapai 0,85-2,62 ppm. Pencemaran terparah tentu di area pengolahan tambang, yang mana tanah di tempat itu mengalami pencemaran mencapai 84,15-575,16 ppm.