Dalam persidangan perkara Undang-Undang ITE yang menyeret nama terdakwa Yahdi Basma yang juga menjabat sebagai angggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, tim penasehat hukum terdakwa mengoreksi isi pernyataan sumber berita yang dimuat oleh salah satu media online terbitan Palu. Seperti apa ceritanya?
Pada tanggal 9 November 2020, tim penasehat hukum terdakwa Yahdi Basma yang tergabung dalam Tim Advokasi Persatuan Nasional Aktivis (PENA 98) menemukan berita dari salah satu link media online Jafarbuaisme.com, dengan judul “Jadi Terdakwa, Yahdi Basma Bisa Diberhentikan Sementara sebagai Anggota DPRD Sulteng”. Dalam berita tersebut, Pewarta pemilik blog, mengutip keterangan Juru Bicara Gubernur Sulteng, Mohammad Haris Kariming yang menyebutkan bahwa;
“terdakwa Yahdi Basma sebenarnya dapat diberhentikan sementara sebagai anggota DPRD Sulteng. Itu bila merujuk pada aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Haris Kariming menjelakan bahwa saat ini yang bersangkutan telah berstatus terdakwa berdasarkan surat Surat Kejaksaan Negeri Palu Nomor: B-1809/P.2.10/EKU.2/10/2020 tertanggal 21 oktober 2020. Lalu dikuatkan dengan Surat Pengadilan Negeri Palu Nomor: 448/PID.SUS/2020/PN.PAL tertanggal 22 oktober 2020.
Menurut Haris yang bersangkutan disangkakan melanggar Pasal 27 Ayat (3) jo Pasal 45 Ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI Nomor 11 tahun 2008. tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana disebutkan dalam Surat Kejari Palu. ”Perkara Yahdi Basma ini termasuk kategori perkara tindak pidana khusus. Jadi bukan perkara biasa. Yang bersangkutan dapat diberhentikan sementara sebagai anggota DPRD Sulteng,”
Atas isi pernyataan sumber diberita tersebut, Tim Advokasi PENA 98 yang ketuai oleh Muh Rasyidi Bakry sekaligus yang mendampingi terdakwa Yahdi Basma, memberikan pendapat hukum (Legal Opinion) dalam bentuk rilis yang diterima Koran Trilogi Selasa malam 10 Oktober 2020. Berikut isi keterangannya.
1. Bahwa benar, Klien kami saat ini sedang menjalani persidangan selaku Terdakwa atas dugaan melakukan tindak pidana pelanggaran pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana dalam register perkara Nomor : 448/Pid.Sus/2020/PN Pal;
2. Bahwa Pasal 362 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, mengatur bahwa: “Anggota DPRD provinsi diberhentikan sementara karena:
a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun; atau
b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
3. Bahwa terhadap diri klien kami, walaupun telah menyandang status terdakwa, akan tetapi tidak memenuhi syarat untuk dilakukan “pemberhentian sementara” sebagai anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 362 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Juncto pasal 146 ayat (1) UU 23 TAHUN 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diperbaharuai dengan UU NOMOR 9 TAHUN 2015, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
– Bahwa tindak pidana yang didakwakan kepada klien kami bukanlah tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 tahun atau lebih;
– Bahwa tindak pidana yang didakwakan kepada klien kami adalah tindak pidana khusus, akan tetapi frasa tindak pidana khusus baik dalam norma batang tubuh maupun dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tidak ditemukan pengertiannya, barulah setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, frasa tindak pidana khusus kemudian ditemukan pengertiannya sebagaimana dalam penjelasan pasal 245 ayat 2 huruf c yang menentukan bahwa:
“Yang dimaksud dengan tindak pidana khusus antara lain meliputi tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, Pelanggaran HAM berat, tindak Pidana Perdagangan orang, tindak Pidana Penyalahgunaan narkotika”.
– Bahwa dari penjelasan frasa tindak pidana khusus tersebut, secara substantif pengertian norma tindak pidana khusus telah sangat jelas dan terang serta tidak memerlukan tafsir lain (interpretario in claris) bahwa tindak pidana khusus yang dimaksud cakupannya terbatas untuk 5 (lima) kategori tindak pidana yakni: (1) korupsi; (2) terorisme; (3) Pelanggaran HAM berat; (4) Perdagangan orang; dan (5) Penyalahgunaan narkotika”.
4. Bahwa berdasarkan Lampiran II Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, pada angka 176 diterangkan bahwa “penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. . .” Selanjutnya, pada angka 186 huruf a diterangkan bahwa rumusan penjelasan pasal demi pasal “tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh”. Sehingga, penjelasan mengenai frasa tindak pidana khusus pada pasal 245 ayat (2) huruf c Undang-Undang No. 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus dijadikan acuan tunggal dalam menginterpretasikan makna frasa tindak pidana khusus dalam pasal 362 Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
5. Bahwa dengan demikian, berdasarkan penalaran hermeneutika hukum, tindak pidana yang didakwakan kepada klien yakni pelanggaran atas UU ITE, tidaklah termasuk tindak pidana khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 362 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014;
6. Bahwa perlu kami ingatkan jika kategorisasi Pidana Khusus secara umum terbagi dalam dua kategori. Pertama, kategori pidana khusus karena tindak pidana dimaksud tidak diatur dalam KUHP dan; Kedua, kategori pidana khusus karena tindak pidana dimaksud adalah kejatahan luar biasa atau extra ordinary crime sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 245 ayat 2 huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Bahwa berdasarkan uraian di atas, dengan hormat disampaikan, agar kiranya saudara Haris Kariming berkenan untuk meralat kembali pernyataannya tersebut. Karena dalam pandagan kami, hal tersebut tidak relevan bahkan bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, seperti yang telah kami uraikan secara lengkap di atas.