Kali ini tidur lebih cepat dari biasa, boleh jadi karena kelelahan, sehari melaksanakan supervisi di salah satu project purnabakti.
Sekitar pukul tiga dini hari tiba-tiba terbangun dan mata tidak mau lagi kompromi untuk melanjutkan tidur. Padahal situasi sangat mendukung karena suara hujan rintik terdengar sayup jatuh di atas atap spandek.
Setelah dihitung lama waktu tidur, sudah lebih dari cukup berdasarkan standar minimal sekitar enam jam. Dan seperti biasa, saya membuka android untuk kembali mengetik artikel terkait dengan pengalaman di hari kemarin.
Saya merewind atau kilas balik dari pekerjaan mengevaluasi salah satu project bangunan sipil. Sengaja dikerjakan tukang setempat yang bertujuan untuk pemberdayaan, apalagi dalam situasi pandemic Covid-19, banyak pengangguran.
Pengawas project memberi saran ke tukang terkait dengan pekerjaan plester dinding yang terlihat kasat mata kurang lurus dan agak miring. Dan respon si tukang sudah diduga bahwa dia pasti akan berargumen dengan kualitas pekerjaannya.
“Sudah lama kami bekerja pak” !dan baru sekarang ini ada yang kasih saran dengan pekerjaan yang kami kerjakan. Dia terus berceloteh tentang beberapa pekerjaan besar yang pernah ditanganinya sambil menyebut tempat bangunan itu.
Saya dan pengawas masih terus mendengar ocehannya dan dia bertambah semangat bercerita. Mungkin karena saya tersenyum senyum mendengarnya, dan dia beranggapan bahwa saya merasa kagum. Sementara si pengawas, alis matanya terlihat agak meninggi pertanda kesal.
Saya berbisik ke pengawas “diam saja, nanti kita evaluasi”. Kemudian di tempat terpisah saya katakan ke pengawas: tukang kita ini terjebak dengan cara berpikir masa lalu, tidak mau menerima masukan atau saran. Ini pasti susah bersaing dan maju.
Kemudian teringat pengalaman di waktu masih aktif sebagai kepala OPD . Ada sejumlah staf yang juga masih terjebak dengan pikiran di masa lalu. Dia memberi agumen “bahwa dulu dengan cara kami berbudidaya udang juga berhasil lumayan pak”. Jadi kalau budidaya udang kami juga tidak ketinggalan.
Dia tidak paham dan tau bahwa teknologi berbudidaya sudah jauh berkembang dan standar berhasil juga jauh lebih tinggi. Dan satu saat saya mengajak mereka untuk melihat teknologi budidaya udang supra intensif di Kabupaten Barru, Sulsel.
Mereka semua diam, karena mulai pagi ketika pintu air tambak dibuka hingga udang yang terakhir, dua truck telah terisi penuh untuk dipasarkan ke Surabaya diangkut menggunakan kapal Fery melalui pelabuhan Makassar.
Tidak lagi terdengar ada komentar karena tambak dengan ukuran 1000 meter persegi dapat dipanen udang sekitar 8 ton. Sebelumnya telah dipanen parsial sebanyak 7,0 ton di tambak yang sama. Sehingga totalnya 15 ton dalam satu siklus budidaya.
Dua contoh kasus di atas adalah orang- orang yang terperangkap dengan pikiran masa lalu. Mereka tidak menyadari bahwa era digital telah membawa perubahan begitu cepat. Di YouTube hampir semua teknologi apa saja telah tersedia. Tinggal mengetik substansi yang dibutuhkan. Sehingga kalau mau maju tidak susah, banyak sumber informasi yang bisa diakses.
Prof Rhenald Kasali, tokoh yang sering menulis tentang perubahan menyebut orang orang seperti ini adalah generasi yang gagal Move on. Artinya generasi yang tidak mau mengikuti satu perubahan, padahal kereta perubahan telah tiba dan segera meninggalkan stasiun. Jika terlambat naik, maka akan tertinggal di stasiun. Dan ini merupakan kereta terakhir.
Di tahun 2019 saya pernah menulis artikel berkaitan dengan generasi. Sesungguhnya ada tiga generasi saat ini. Pertama generasi milenial, lahir setelah tahun 1980. Kedua, generasi non milenial atau baby boomers yang lahir sebelum tahun 1980. Ketiga, generasi intercect atau irisan antara generasi milenial dan non milenial.
Milenial umumnya adaptif, update dan inovatif. Dan baby boomers cenderung kebalikan dari milenial dan ada ketergantungan. Sedang generasi intercect dibagi menjadi dua kelompok. Intercect pertama, usianya milenial tetapi cara berpikir baby boomers. Contoh tukang batu dan tenaga teknis budidaya udang termasuk kategori ini.
Intercect kedua, adalah usia baby boomers, namun cara berpikirnya relevan atau mengikuti milenial. Banyak tokoh dunia dan nasional telah berusia senja, namun cara berpikir masih relevan dengan tuntutan kebutuhan. Saat ini usia bukan lagi menjadi pembeda tetapi relevansi berpikir.
Pricewaterhouse Cooper (2017) dalam analisisnya mengemukakan bahwa di tahun 2045, Indonesia akan menjadi raksasa ekonomi di peringkat lima dunia bila mampu memanfaatkan SDA secara baik dan berkelanjutan dengan nilai PDB di saat itu US$ 7 triliun . Saat ini (2019) baru mencapai US$ 1 triliun.
SDM menjadi salah satu tantangan untuk mewujudkan Indonesia maju itu. Dan ini telah tertuang dalam RPJMN maupun RPJMD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kenyataan menunjukkan bahwa masih saja terjadi ketimpangan kualitas SDM di sejumlah wilayah seperti telah diceritakan dalam artikel ini.
Format dan kualitas transformasi oleh transformator ditengarai telah menjadi salah satu sebab adanya ketimpangan kualitas SDM. Karena itu format transformasi dan kualitas penyelenggaraan harus reorientasi.
Pembelajaran yang saya nilai bisa jadi contoh baik, meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan para SDM di daerah ini adalah proses transformasi yang dilakukan oleh sebuah LSM Internasional asal Negeri Sakura yaitu JICA, Japan International Council Agency
Pascabencana gempa, tsunami dan liquafaksi, di Sulawesi Tengah 28 September 2018, JICA memberi contoh transformasi ketrampilan melalui program livelihood atau penghidupan masyarakat dengan lokus kota Palu, kabupaten Sigi dan Donggala.
Di kota Palu fokus kepada UMKM yang berprofesi sebagai penjaja kuliner dan pengrajin tembikar. Di Sigi kepada tukang kayu dan batu, dan di kabupaten Donggala adalah kepada nelayan yang menangkap ikan teri.
Salah satu hal yang menarik dari program JICA adalah prosesnya. Diawali dengan identifikasi terkait dengan kondisi target termasuk karakter dan aspek sosial lainnya. Diskusi menjaring keinginan target hingga menetapkan program dan kegiatan.
Partisipasi masyarakat didorong berpendapat, untuk menjadi bahan pertimbangan dalam transformasi inovasi dan teknologi yang akan diterapkan, sehingga masyarakat timbul rasa memiliki yang kuat, termasuk misalnya diajarkan cara yang benar membuat perahu dan mengolah hasil tangkapan teri.
Program pemberdayaan itu mulai identifikasi sampai dengan evaluasi berlangsung antara 1 hingga 1.5 tahun. Dan outputnya memberi hasil yang signifikan. Saat ini bisa ditemukan sejumlah hasil kerja itu, diantaranya tukang kayu maupun batu eks binaan JICA dengan mutu kerja yang memuaskan .
Dari pembelajaran ini dapat diambil manfaat bahwa format program/kegiatan transformasi yang ada di setiap OPD kiranyanya dilakukan reorientasi. Di mulai perencanaan, pendampingan dan evaluasi. Target
telah berbasis outcome, tidak lagi berbasis output yang selama ini mewarnai program dan kegiatan di OPD.
Pilkada di tahun 2020 yang telah memilih Gubernur, para Bupati dan Walikota, menjadi momentum untuk melakukan reorientasi program dan kegiatan. Dampak dari bencana multi dampak 28 September 2018 dan Pandemic Covid-19 menuntut reorientasi itu , ditambah dengan harapan Bonus Demografi 2030 dan Indonesia Maju di tahun 2045. SEMOGA.